MSI-UII.Net - 7/8/2008 Penulis adalah alumni Ekonomi Islam MSI UII A. Pendahuluan Keluarga atau rumah tangga sebagaimana pendapat Robert A. Gordon (1976) merupakan elemen (unit) terkecil dari suatu peroses ekonomi setelah individu, yang juga merupakan tempat berkumpulnya individu-individu yang memiliki kebutuhan terhadap tersedianya barang dan jasa guna mencukupi kebutuhan hidup yang ada. Sedangkan kumpulan keluarga akan membentuk suatu masyarakat yang tentunya akan terdiri dari lebih banyak individu-individu yang secara jelas akan memiliki kebutuhan hidup dan sarana untuk memenuhinya yang semakin beragam serta berbeda antara satu dan yang lainnya. Permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat pengangguran cukup tinggi yakni mencapai 9,86% pada 2004, dari 216.415.100 dan pada tahun 2005 mencapai 218.141.800 jiwa penduduk Indonesia, berdampak pada tingginya tingkat penduduk miskin yang berkisar 16,7% pada 2004 dan 18,7% pada 2005, ialah bagaimana memberikan lapangan pekerjaan dengan tinggkat penghasilan yang memadai kepada mereka, dan dengan pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut, mereka mampu dan dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang ditanggungnya secara wajar.[1] Mengutip dari pendapat Bung Hatta, yang menyatakan bahwa perjuangan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak lain semata-mata untuk menuju tingkat kemakmuran (kesejahteraan) yang diharapkan, yang barang tentu secara jelas untuk mencapainya terdapat berbagai masalah serta hambatan yang harus dihadapi.[2] Untuk itu, pemerintah dalam hal ini, dengan amanat UUD yang diemban dan selaku pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dituntut untuk berusaha menciptakan kemakmuran di masyarakat dengan menempuh berbagai cara, yang diantaranya dengan meminta lembaga keuangan untuk berperan aktif dalam membantu perkembangan ekonomi masyarakat. Terasa janggal kiranya jika peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarkat tersebut, tidak dihubungkan dengan peningkatan dan upaya memenuhi kebutuhan pada sektor rumah tangga sebagai salah satu elemen dasar dari terbentuknya masyarakat yang berkemakmuran. Disebabkan begitu pentingnya keberadaan ekonomi rumah tangga dalam mencipatakan kesejahteraan masyarakat dan peran lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi yang sangat diharapakan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat, maka untuk itu, pada bab ini akan mencoba untuk membahas faktor-faktor yang mempengaruhi ekonomi dalam rumah tangga baik dari sumber- sumber pendapatan, maupun macam-macam pengeluaran serta kebutuhan yang terdapat dalam rumah tangga, dan menghubungkannya dengan lembaga keuangan syariah, khususnya perbankan dan pegadaian dalam menjawab berbagai kebutuhan yang ada di masyarakat. B. Ekonomi Rumah Tangga Suatu Tinjauan Sosio Ekonomi Berbicara mengenai ekonomi rumah tangga, berarti mau atau tidak harus juga membicarakan kebutuhan yang terdapat dalam suatu keluarga, meskipun menurut Duncan Ironmonger (1989) bahwa kajian mengenai ekonomi rumah tangga mempunyai fokus tersendiri yang berbeda dengan kajian dan penelitian yang terfokus pada keluarga, yang lebih cenderung pada kajian psikologi dan sosiologi. Sebaliknya sependapat dengan Frank Maas, yang tidak begitu setuju dalam membedakan kedua hal tersebut secara kaku, karena ekonomi rumah tangga pada dasarnya sangat berhubungan dengan keluarga itu sendiri, dan segala aktifitas ekonomi dalam suatu rumah tangga semata-mata sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan yang terdapat dalam suatu keluarga.[3] Untuk lebih jauh melihat bagaimana kondisi ekonomi rumah tangga pada masyarakat Indonesia, perlu rasanya melihat kondisi perekonomian Indonesia yang sejak kerisis keuangan (moneter) yang melanda kawasan Asia Tenggara pada April 1997 dan berlahan-lahan merambah masuk ke Indonesia pada Desember 1997 dan Januari 1998, telah membawa pengaruh cukup besar pada sektor ekonomi rumah tangga, terutama yang disebabkan oleh naik dan turunnya nilai tukar rupiah, yang berakibat pada naiknya berbagai macam harga-harga barang yang cukup derastis dan tidak menentu, yang mengalami kenaikan tertinggi pada Januari 1998 hingga Maret 1999. Kenaikan harga barang tersebut, tak terkecuali juga menimpa pada naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh keluarga dan masyarakat secara luas.[4] Kenaikan harga-harga barang yang menggila, yang tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan riil pada keuangan keluarga, dan bahkan kondisi krisis yang menimpa Indonesia semakin bertambah parah, dengan terus berlanjutnya krisis moneter menjadi krisis ekonomi dan kerisi sosial politik yang berlanjut pada krisis multidimensi, yang berakibat pada menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi, dan pada saat yang sama terjadi pula banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor industri yang mengalami kebangkrutan, dan penghasilan para petani yang ikut menurun pada sektor pertanian, yang disebabkan oleh tingginya biaya produksi yang dibutuhkan. Beberapa persoalan tersebut, jelas membawa dampak yang cukup besar bagi menurunnya tingkat kemampuan rumah tangga para karyawan, pekerja dan petani dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari yang secara langsung juga berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan hidup di masyarakat. Pada kenyataannya, dan perlu digarisbawahi yakni, jika tingkat pendapatan rumah tangga rendah dan sebaliknya, biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin meningkat, dan tak jarang pada saat yang bersamaan jumlah anggota rumah tangga yang ditanggung malah semakin bertambah, akan membawa akibat pada terjadinya defisit keuangan rumah tangga, yang jika ini terjadi maka secara otomatis sebagian besar masyarakat akan lebih banyak yang mencari pinjaman guna menutupi kebutuhan, dibanding dengan mensisihkan dana untuk menabung atau bahkan berinvestasi yang jelas bertujuan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan (konsumsi) disaat yang akan datang. Fenomena pendapatan penduduk perkotaan dan golongan berpenghasilan rendah (miskin) yang ada di masyarkat umumnya, dalam mempertahankan hidup keluarga dari cengkraman keterbatasan kemampuan ekonomi, berusaha memperoleh pendapatan dari berbagai macam sumber usaha, yang diantaranya yakni, dengan bekerja (sebagai karyawan, buruh, pegawai, tani dll), usaha yang dilakukan sendiri (berdagang kecil-kecilan dll), dari kekayaan yang dimiliki, serta pendapatan dari sektor subsisten (usaha-usaha tambahan lainnya). Dari sekian banyaknya usaha yang dilakukan tersebut, pemasukan keuangan (pendapatan) yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga, ternyata tetap mengandalkan pada sumber pendapatan utama, yakni yang berasal dari kerja yang dilakukan, sedangkan pendapatan dari usaha-usaha lain semata-mata sebagai tambahan pendapatan, yang tak lain bertujuan untuk mencukupi kebutuhan keluarga karena tidak mungkin rumah tangga yang memiliki penghasilan rendah dapat memenuhi kebutuhan hidup secara menyeluruh hanya dari pendapatan utama tanpa melakukan pekerjaan atau usaha tambahan. Pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga pada dasarnya mencakup terpenuhinya kebutuhan minimum, yakni berupa kebutuan terhadap pangan, sandang, papan dan kesehatan secara wajar, bahkan pada rumah tangga yang memiliki pendapatan terlampau kecil, maka pemenuhan kebutuhan terbatas hanya mencakup kebutuhan yang sangat minim, yakni berupa makanan dan pakaian, dan sangat sedikit sekali yang memberi kelonggaran terhadap pengeluaran bagi kebutuhan lainnya. Pola pengeluaran rumah tangga masyarakat dengan realitas jumlah kebutuhan yang cukup besar, serta pendapatan yang relatif kecil, sering menunjukkan adanya ketidak harmonisan dalam tatanan ekonomi rumah tangga yakni antara besarnya jumlah pendapatan yang diterima dan jumlah pengeluaran yang ada, sehingga tak jarang ekonomi rumah tangga cenderung mengalami kebangkrutan dan terpaksa masuk dalam mekanisme pinjam-meminjam, hutang-piutang maupun kredit. Masuknya ekonomi rumah tangga dalam mekanisme tersebut, akan lebih banyak terjadi ketika suatu keluarga dihadapkan pada kebutuhan keuangan secara mendesak dan dalam jumlah yang relatif cukup besar, seperti disaat menghadapi peristiwa kelahiran, khitanan, pendidikan anak, perkawinan dan kematian, yang jika dilihat secara koderati kondisi-kondisi tersebut merupakan kebutuan alamiah dari rotasi kehidupan manusia sebagai individu, keluarga dan masyarakat. Ironis memang apa yang dihadapai kemudian, meskipun dalam kehidupan masyarakat terdapat norma-norma untuk saling bantu-membantu yang tercermin dalam proses gotong royong dan pinjam-meminjam, yang cenderung didasarkan pada sikap saling percaya-mempercayai antara pihak yang meminjam dan yang memberi pinjaman, tetapi akankah hal ini, memberikan solusi terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mendesak ekonomi rumah tangga tersebut? Bahkan akan lebih mengerikan lagi, jika disaat kebutuhan dana yang cukup besar yang dialami ekonomi rumah tangga yang hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan alamiah di atas, dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang sengaja ingin mengambil keuntungan di tengah-tengah kesulitan ekonomi yang menimpa, sehingga berakibat pada terikatnya ekonomi rumah tangga dalam mekanisme hutang-piutang yang semakin hari semakin membesar dan mencekik, yang barang tentu dijalankan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan tentu tidak perduli oleh kondisi yang ada. Sebahagian masyarakat yang sadar akan hal ini, telah mempersiapkan kemungkinan-kemungkina tersebut dengan sedikit demi sedikit menabung dan berinvestasi baik dengan cara memiliki tabungan maupun membeli barang-barang berharga yang diharapkan dapat dijual atau digadaikan jika kebutuhan itu datang, tetapi sebahagian yang lain, yang tidak bisa menabung dan berinvestasi kecil-kecilan akan tetap mengandalkan pinjaman dan kredit, yang merupakan jalan satu-satunya guna mencukupi kebutuhan tersebut (M. Nassir Hawy, 1982, hal.72). Tak dapat disangkal bahwa kebutuhan terhadap pinjam-meninjam serta peroses gadai-menggadai dalam kehidupan rumah tangga mengambil peran penting dalam perputaran ekonomi rumah tangga, dan itu berarti kebutuahan terhadap peran perbankan dan lembaga gadai dalam melindungi masyarkat sangat diperlukan guna membantu dan memberikan solusi terhadap permasalahan-permaslahan ekonomi rumah tangga yang dihadapi. Bahkan bagi sebahagian masyarakat yang telah dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya sehari-hari secara wajar, baik berupa pemenuhan terhadap kebutuhan pangan, sandang, papan, maupun kesehatan, maka orientasi pemenuhan kebutuhannya akan beranjak pada tahap pemenuhan kebutuhan batiniah seperti rekreasi dan hiburan, sedangkan bagi masyarakat Indonesia yang sebahagian besar muslim terdapat kebutuhan-kebutuhan lain yang juga perlu dan bahkan wajib dipenuhi jika syarat-syarat yang ada telah terpenuhi, yakni kebutuhan rohaniyah yang bernilai ibadah, yang datang terutama ketika kebutuhan hidup sehari-hari bagi diri dan keluarga yang ditanggung telah terpenuhi. Kebutuhan bagi seorang muslim untuk membayar kewajiban zakat, beribadah Haji, dan memberikan sadaqah, infak serta mempersiapkan harta wakaf dan bahkan waris, akan segera datang menghampiri. Nampak semakin jelas bahwa peran perbankan dan pegadaian pada khususnya, dan lembaga keuangan syariah pada umumnya, bagi ekonomi rumah tangga memiliki posisi yang cukup penting guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada, baik yang bersifat fisik yang menjadi kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan dan kesehatan) maupun kebutuhan rohani yang tak jarang dapat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan di masyarakat. Dan jika lembaga keuangan syariah dalam hal ini dapat melihat dan membaca fenomena begitu alamiah tersebut dengan jeli, tak diragukan lagi bahwa akan terbuka pasar yang cukup baik bagi peroduk-produk yang benar-benar dibutuhkan masyarakat, dengan konsumen yang nyaris sama dengan jumlah penduduk itu sendiri banyaknya. C. Peran Lembaga Perbankan dan Pegadaian Syariah pada Ekonomi Rumah Tangga Kondisi ekonomi rumah tangga pada masyarakat Indonesia yang tergambar secara jelas pada paparan di atas, merupakan bagian penting yang amat perlu untuk diperhatikan sebagai suatu peroses guna terciptanya masyarakat yang sejahtera seperti apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa dan masyarakat pada umumnya, dan hal ini membutuhkan peran dan kerja sama banyak pihak, yang secara bersama-sama baik pemerintah selaku pengemban amanat UUD maupun institusi-institusi yang terdapat di masyarakat untuk dapat saling bekerjasama dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Lembaga keuangan syariah pada umumnya, perbankan serta pegadaian syariah khususnya, sangat wajar jika dalam peroses tersebut dapat mengambil bagian dan berperan aktif dalam meningkatkan kesejahteraan di masyarakat, meskipun hanya dengan berupaya untuk memberikan dan menyediakan produk-produk yang memang dibutuhkan oleh keluarga dan bahkan masyarakat secara luas. Sangat disayangkan jika lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi yang sungguh berkerja dengan mengandalkan kondisi kelebihan dan kekurangan terhadap faktor ekonomis yang ada di masyarakat, tidak bisa membaca dengan cermat dan mengambil bagian dalam menghubungkan serta mempertemukan kedua kondisi tersebut, agar permasalahan ekonomi di masyarakat serta rumah tangga dapat terselesaikan, dan lebih-lebih jika ketidak cermatan tersebut terjadi pada lembaga keuangan syariah yang non ribawi yang diharapkan konsen terhadap kondisi masyarakat. Agar tidak terjadi kesenjangan yang sangat jauh dari apa yang ditawarkan dalam produk perbankan dan pegadaian syariah dengan kebutuhan yang ada di dalam rumah tangga dan masyarakat, maka perlu rasanya untuk menganalisa produk-produk kedua lembaga keuangan syariah tersebut terhadap kesesuaiannya dengan apa-apa yang memang dibutuhkan ekonomi rumah tangga dan masyarakat secara riil di lapangan. Secara teori akad-akad Muamalah yang bersumber pada ajaran syar’i memiliki kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat atau rumah tangga yang ada, dan bahkan dapat dikatakan sangat memperhatikan kebutuhan ekonomi mereka, hal ini ditunjukkan dengan keberpihakan terhadap pemberdayaan ekonomi kecil (keluarga) yang berdasar pada keuangan terbatas, dengan adanya akad-akad yang memperhatiakan nilai-nilai kerjasama dan transaksi-transaksi yang tidak tunai, seperti yang terdapat pada akad Mudharabah dan Musyarakah (kerjasama usaha), Murabbahah (jual beli dengan espektasi (murk up) harga yang disepakati), Ijarah (sewa-menyewa), Muzaraah dan Musaqah (kerjasama pertanian), Salam (pesan), Qardh (pinjam-meminjam) dan banyak lagi akad-akad lainnya yang sangat konsen terhadap ekonomi kecil tersebut (lihat Bab II). Keberpihakan akad-akad muamalah di atas, bukan dalam artian tidak memberdayakan ekonomi rumah tangga, bahkan akad-akad tersebut memacu ekonomi rumah tangga yang memiliki keterbatasan dalam kepemilikan dana (modal), untuk dapat terus berusaha, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa rata-rata penduduk miskin untuk dapat mencukupui kebutuhan-kebutuhan rumah tangganya, mereka akan berusaha diberbagai macam bidang dan jenis pekerjaan untuk mendapatkan memperoleh tambahan pendapatan. Jika akad-akad tersebut sangat berpihak kepada ekonomi rumah tangga maka pertanyaan selanjutnya ialah, apakah lembaga keuangan syariah dalam hal ini perbankan dan pegadaian syariah yang jelas-jelas menggunakan akad-akad tersebut dalam usahanya telah dan berani memberdayakan atau sekedar memperhatikan sektor ekonomi rumah tangga? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu untuk dipaparkan secara jelas disini bahwa dari produk-produk kedua lembaga keuangan syariah tersebut (Perbankan dan Pegadaian) sampai dengan Juli 2005, memiliki fokus yang berbeda yakni pada akad Murabahah, Mudharabah, Musyarkah, dan Ijarah pada Perbankan Syariah, dan akad Rahn serta Ijarah pada Pegadaian Syariah. Dari akad yang digunakan dan mekanisme yang dijalankan oleh kedua lembaga keuangan tersebut, jika dilihat dalam presfektif ekonomi rumah tangga, perbankan dan pegadaian syariah dengan produknya masing-masing, memiliki posisi dan peran tersendiri dalam mekanisme ekonomi rumah tangga yang sangat erat hubungannya dengan situasi dan kondisi keuangan rumah tangga. Dilihat dari produk-produk yang ditawarkan kedua bank syariah (Bank Syariah Mandiri/BSM dan Bank Danamon Syariah/BDS) tersebut,[10] terutama pada produk pembiayaan sebahagian besar dan bahkan hampir seluruhnya tidak dapat digunakan pada ekonomi rumah tangga terutama pada kebutuhan dasar dan kebutuhan alamiah seperti kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan serta pembiayaan kelahiran, khitanan, pendidikan, pernikahan maupun kematian. Meskipun, pada produk pembiayaan BSM terdapat dua produk pembiayaan yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dana mendesak yakni pembiayaan Gadai Emas dan Talangan Haji yang keduanya menggunakan akad Qardh, sedangkan selebihnya baik BSM maupun BDS sama-sama mengalokasikan dana pembiayaan untuk pengembangan usaha dalam bentuk akad Murabahah, Mudharabah, Musyarakah dan lain sebagainya, yang dapat diakses oleh unit usaha baik mikro maupun makro. Berdasarkan besarnya pendapatan yang diperoleh BSM maka dapat dilihat bahwa akad Murabahah masih menjadi akad yang paling paforit yang digunakan dalam produk pembiayaan, sedangkan akad-akad yang lain meliputi Mudharabah, Musyarakah, belum menjadi akad yang dominan. Hal ini juga sama dengan apa yang terdapat pada produk pembiayaan BDS yang hampir seluruhnya menggunakan akad Murabahah dan Ba’i (jual beli), yang diperuntukkan bagi pembelian alat-alat usaha dari usaha yang telah ada, yang memang bukan kebutuhan dasar rumah tangga, dan sedikit pembiayaan yang dialokasikan untuk dana (modal) usaha yang benar-benar dibangun dari awal atau yang bekerja sama dengan mereka yang memiliki kemampuan (skill), tetapi memiliki keterbatasan modal, yang teraplikasi dalam akad Mudharabah dan Musyarakah. Produk-produk pembiayaan dalam dua bank syariah tersebut merupakan produk yang hanya dapat digunakan dan diakses oleh mereka-mereka yang ekonomi rumah tangganya telah cukup mapan dalam mencukupi kebutuhan dasar rumah tangga, dan yang tidak lagi berfikir bagaimana cara mencukupinya, serta disaat kondisi ekonomi rumah tangga mengalami surplus, yang dapat diartikan disaat seluruh kebutuhan dasar dalam ekonomi rumah tangga telah dapat tercukupi dan pendapatan tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya (setelah kebutuhan dasar) atau digunakan untuk menabung dan bahkan berinvestasi. Ketersediaan produk perbankan syariah yang dapat digunakan bagi keluarga yang telah dapat mencukupi kebutuhan dasar hidup dan dalam bentuk pembiayaan jual beli dan pengembangan usaha, memberikan jarak yang cukup jauh antara perbankan syariah dan kebutuhan mendesak dalam ekonomi rumah tangga yang pada dasarnya jarak tersebut, dapat didekatkan dengan pengembangan usaha perbankan syariah dengan berani mengelola dana publik dalam bentuk zakat dan wakaf secara produktif atau dengan memberdayakan akad Qardh, yang telah sebahagian diaplikasikan perbankan syariah dalam hal ini BSM dalam pembiayaan sektor rumah tangga yang selama ini belum dikembangkan dengan optimal. Keberanian untuk mengelola dana publik secara produktif tersebut dapat dimungkinkan, dengan dan jika tujuan yang dimaksud dalam pengelolaan tersebut jelas bahwa hasil yang diperoleh digunakan untuk membantu keluarga miskin dan masyarakat yang sedang mengalami kesulitan, dan dengan itu, menunjukkan perbankan syariah telah juga ikut berperan dalam berusaha untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan di masyarkat. Sedangkan produk pegadaian syariah pada Unit Layanan Gadai Syariah Perum Pegadaian yang menggunakan akad Rahn dan Ijarah, dalam presfektif ekonomi rumah tangga, memiliki posisi yang cukup penting terutama ketika ekonomi rumah tangga sedang mengalami defisit dan atau sedang menghadapi kebutuhan dana mendesak. Meskipun ULGS dalam hal ini, tidak menyebutkan secara jelas memiliki pembiayaaan untuk sektor rumah tangga tetapi dengan melihat proses pelayan pemberian dana yang relatiev cepat, dengan syarat yang tidak berbelit-belit serta pelayanan yang sopan dan mengedepankan aspek kekeluargan, akan mempermudah rumah tangga dalam mengakses layanan gadai syariah disaat mengalami defisit keuangan maupun dalam memenuhi kebutuhan dana mendesak yang dialami ekonomi rumah tangga. Dari itu, dapat dikatakan bahwa pegadaian syariah sangat pas dengan kondisi ekonomi rumah tangga terutama bagi mereka yang memang telah berinvestasi dalam bentuk barang-barang berharga, yang tak jarang telah dimiliki oleh setiap keluarga. Tetapi yang perlu menjadi perhatian selanjutnya ialah bahwa tidak setiap barang berharga dapat digadaikan pada ULGS, sehingga sangat perlu kiranya jika rumah tangga sedikit demi sedikit berusaha untuk berorientasi menabung atau berinvestasi dalam bentuk barang-barang berharga yang memiliki tingkat likuiditas yang relatief setabil, meskipun barang berharga itu juga dapat dipergunakan sehari-hari. Barang-barang yang relatief lebih likuid tersebut dapat berupa perhiasan emas, tanah maupun kendaraan bermotor yang disamping sebagai harta yang bernilai tinggi, tetapi juga dapat digunakan oleh keluarga. Kesadaran untuk menumbuhkan orientasi menabung dan berinvestasi dalam bentuk barang-barang berharga pada ekonomi rumah tangga, perlu ditumbuhkan pada masyarkat, karena tak jarang antara barang-barang berharga yang dimiliki pihak rumah tangga dan apa yang diterima pegadaian syariah tidak terjadi singkronisasi, terutama disebabkan batas minimal nilai dan tahun barang yang dapat digadaikan sebagaimana telah ditetapkan ULGS, tidak sesuai dengan nilai barang-barang yang banyak dimiliki rumah tangga pada umumnya, sedangkan disisi lain bagi rumah tangga yang memiliki keterbatasan ekonomi, untuk memiliki benda-benda berharga yang mempunyai nilai tinggi sebagaimana ditetapkan ULGS tersebut sangatlah dirasa sulit. Dari itu, penting kiranya bagi ULGS dan lembaga gadai pada umumnya untuk mensosialisasikan kepada masyarakat, akan jenis-jenis barang yang nilai dan tingkat likuid-nya cendrung stabil, dan tidak menetapkan tingkat minimal nilai barang gadai tanpa melihat kondisi ekonomi rumah tangga secara riil baik dari rumah tangga yang memiliki tingkat ekonomi relatif stabil, sampai rumah tangga yang memiliki tingkat kesetabilan ekonominya sangat rentan, hal ini sangat perlu dilakukan karena pada realitasnya rumah tanggalah yang banyak menggunakan jasa gadai ini. DAFTAR PUSTAKA Abu bakar, M. Ayub,“Peran Ekonomi Subsistens Dalam Memenuhi Kebutuhan Pokok Rumah Tangga Kota? dalam Mulyanto Sumardi, Hans Dieter Evers (ed), Sumber Pendapatan, Kebutuhan Pokok dan Prilaku Menyimpang, Jakarta: Rajawali Press, 1982. A. Gordon, Robert, “Rigor and Relevan in a Changing Institutional Setting? American Economic Review, vol. 66, No.1, Maret 1976. A. Karim, Adiwarman, “Samakah Pembiayaan Ijarah Dengan Leasing? Majalah Moda, No.22/II Agustus 2004. Amin, Riawan, “Jaringan Perbankan Syariah Lemah? Artikel Kolom Ekonomi Syariah, Republikaonline, diakses tanggal 18 Februari 2005. Amin, Riawan, “Bank Indonesia Harus Adil Kepada Bank Syariah? dalam harian umum, Republika, Kamis 20 Januari 2005. Arief, Sritua, Ekonomi Kerakyatan Indonesia; Mengenang Bung Hatta, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002. Badan Pusat Statistik (BPS), Angka Indeks Harga 9 Bahan Pokok di Daerah Pedesaan Jawa, Madura dan Luar Jawa, Buletin ringkas Juni 1999. Chotib, N. Halim, ”Konsep pengembangan Ekonomi Umat? dalam Solusi Islam atas Problematika Umat, Jakarta: Gema Insani Press, 1998. C. Stone, Courtenay (Ed), Financial risk : theory, evidence and implications : proceedings of the Eleventh Annual Economic Policy Conference of the Federal Reserve Bank of St. Louis, Boston : Kluwer Academic Publishers, c1989. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997. Djiwandono, J. Sudrajat, Bergulat Dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001. Dokumentasi RUU Perbankan 1991, Center For Strategic And International Studies, 1991. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hope, 1996. Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), No.25/DSN-MUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 09/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 11/DSN-MUI/IV/2000. Ghofur, Ruslan Abdul, Pegadaian Syariah di Indonesia (Aplikasi penerapan gadai syariah pada ULGS Cabang Pamekasan dan Kusumanegara Yogyakarta), Yogyakarta: Tesis Magister Studi Islam,Universitas Islam Indonesia, 2004. Harian Umum Nasional, Repubilka, tanggal 6 November 2004. Hawy, M. Nassir, ”Kredit dan Tabungan: Suatu Pandangan Strategi Sosial Ekonomi Masyarakat Kota? dalam, Mulyanto Sumardi (ed), Sumber Pendapatan, Kebutuhan Pokok dan Prilaku Menyimpang, Jakarta: Rajawali Press, 1982. Hassan, M.Kabir, “Islamic Banking Teory and Practice: The Experience of Bangladesh? Managerial Finance; 25, 5; ABI/INFORM Global, 1999. http://www.bi.go.id/web/id http://www.modalonline.com/mod.php, “Manajemen Resiko di Bank Syariah? Modal Online, Topik/interaktif, Rabu, 26 Mei 2004 http://www..syariahmandiri.co.id http://www.danamon.co.id Hooker, M. B, Indonesian Islam, ASAA Southeast Asia Publication Series, Australia: Allen & Unwin, 2003. Ibn Mandur, Imam al’ama, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999. I Greenbaum, Stuart and V. Thakor, Anjan, Contemporary Financial Intermediation, Orlando: Dryden Press, 1995. Ironmonger, Duncan, Households Work, Sydney: Allen and Unwin, 1989. J. Rachbini, Didi (ed), Khazanah Pemikiran Ekonomi Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1994. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. K. Yin, Roberts, Case Study Research; Design and Methods, Second Edition, London: Sage Publications, 1994. Man, Zakaria “Islamic Bank: The Malaysian Experience? dalam Islamic Banking in Southeast Asia, Muhamed Ariff (ed), Singapore: ISEAS, 1988. M. Hatta, Pengantar Kejalan Ekonomi Sosiologi, Jakarta: Gunung Agung, 2002. Miller, Roger LeRoy, Van Hoose, David, Money, Banking, and Financial Markets, Cincinnati, Ohio : South-Western/Thomson Learning, 2004. Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: LP3ES,1973. Partadirja, Ace, “Ekonomika Etik? dalam, Khazanah Pemikiran Ekonomi Indonesia, Didik.J. Rachbini (ed), Jakarta: LP3ES, 1994. Prawiranegara, Sjafruddin, Peran Agama dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat dan Ekonomi Indonesia, Djakarta : Bulan Bintang, 1966. Peraturan Pemerintah No 103 tahun 2000, Tentang Perusahaan Umum (perum) Pegadaian, Bab III, Anggaran Dasar Perusahaan, Pasal 3. Rusd, Ibn, Sharh Bid¯ayat al-mujtahid wa-nih¯ayat al-muqtasid II/161, Cairo: D¯ar al-Sal¯am, 1995. Sabiq, Sayyid, Fiqh us-Sunnah, Muhammad Sa‘eed Dabas, Jamal al-Din M. Zarabozo, translators, Indianapolis, Ind., USA: American Trust Publications, c1985. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Jus III, Beirut: Dar al-Fikr, tt. Saeed, Abdullah, Islamic banking and interest : a study of the prohibition of riba and its contemporary interpretation, Leiden, The Netherlands; New York: E.J. Brill, 1996. Sulaiman,Robintan, Kejahatan Korporasi Perbankan : Tinjauan Yuridis, Jakarta: Universitas Pelita Harapan, 2000. Syafii, Rahmad, dalam “Problematika Hukum Islam Kontemporer?/I>, Chuzaimah T Yanggo (ed), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. Syakir Sula, Muhammad (Sekertaris Jendral Masyarakat Ekonomi Syariah) dalam harian umum Republika, Senin, 28 Februari 2005. Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Y. Sri Susilo dkk, Bank dan lembaga keuangan lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000. Al-Zuhaili, Wahbah, Fiqh Islam Wa Adillatuh, Beirut: Dar Fikr, tt.
|