Sejarah Perkembangan Industri Perbankan Syariah di Indonesia

Sejarah perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia mencerminkan dinamika aspirasi dan keinginan dari masyarakat Indonesia sendiri untuk memiliki sebuah alternatif sistem perbankan menerapkan sistem bagi hasil yang menguntungkan bagi nasabah dan bank. Rintisan praktek perbankan syariah dimulai pada awal tahun 1980-an, sebagai proses pencarian alternatif sistem perbankan yang diwarnai oleh prinsip-prinsip transparansi, berkeadilan, seimbang, dan beretika.

Sebagai sebuah uji coba, masyarakat bersama-sama dengan akademisi kemudian mencoba mempraktekkan gagasan tentang bank syariah tersebut dalam skala kecil, seperti pendirian Bait Al-Tamwil Salman di Institut Teknologi Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta. Keberadaan badan usaha pembiayaan non-bank yang mencoba menerapkan konsep bagi hasil ini semakin menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan hadirnya alternatif lembaga keuangan syariah untuk melengkapi pelayanan oleh lembaga keuangan konvensional yang sudah ada.

Mengamati semakin berkembangnya aspirasi masyarakat Indonesia untuk memiliki lembaga keuangan syariah, maka para pemuka agama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) selanjutnya menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut dengan melakukan pendalaman tentang konsep-konsep keuangan syariah termasuk sistem perbankan syariah.

Pada tanggal 18-20 Agustus 1990, MUI menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional Keempat MUI di Jakarta pada 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam pertama di Indonesia. Kelompok kerja ini disebut Tim Perbankan MUI yang bertugas untuk secara konkrit menindaklanjuti aspirasi dan keinginan masyarakat tersebut serta melakukan berbagai persiapan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.

Hasil kerja dari Tim Perbankan MUI ini adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI). Akte pendirian BMI ditandatangani pada tanggal 1 November 1991 dan BMI mulai beroperasi pada 1 Mei 1992. Selain BMI, pionir perbankan syariah yang lain adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Dana Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera yang didirikan pada tahun 1991 di Bandung, yang diprakarsai oleh Institute for Sharia Economic Development (ISED).

Dukungan Pemerintah dalam mengembangkan sistem perbankan syariah ini selanjutnya terlihat dengan dikeluarkannya perangkat hukum yang mendukung sistem operasional bank syariah, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan PP No. 72 Tahun 1992. Ketentuan ini menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam sistem perbankan ganda ini, kedua sistem perbankan secara sinergis dan bersama-sama memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.

Selanjutnya, melalui perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, keberadaan sistem perbankan syariah semakin didorong perkembangannya. Berdasarkan Undang-Undang No.10 Tahun 1998, Bank Umum Konvensional diperbolehkan untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Dalam UU ini pula untuk pertamakalinya nama “bank syariah” secara resmi menggantikan istilah “bank bagi hasil” yang telah digunakan sejak tahun 1992.

Dalam perjalanan waktu, pengalaman membuktikan bahwa sistem perbankan syariah telah menjadi salah satu solusi untuk membantu menyokong perekonomian nasional dari krisis ekonomi dan moneter tahun 1998. Sistem perbankan syariah terbukti mampu menjadi penyangga stabilitas sistem keuangan nasional ketika melewati guncangan. Kemampuan itu semakin mempertegas posisi sistem perbankan syariah sebagai salah satu potensi penopang perekonomian nasional yang layak diperhitungkan.

Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Dengan positioning khas perbankan syariah sebagai ''lebih dari sekedar bank'' (beyond banking), yaitu perbankan yang menyediakan produk dan jasa keuangan yang lebih beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih bervariasi, diyakini bahwa di masa-masa mendatang akan semakin tinggi minat masyarakat Indonesia untuk menggunakan bank syariah. Dan pada gilirannya hal tersebut akan meningkatkan signifikansi peran bank syariah dalam mendukung stabilitas sistem keuangan nasional, bersama-sama secara sinergis dengan bank konvensional dalam kerangka Dual Banking System (sistem perbankan ganda) Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

Potensi Perbankan Syariah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

17 tahun keberadaan perbankan syariah sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 merupakan masa yang cukup mature untuk mengevaluasi keberadaan dan juga performance dari industri perbankan syariah di negeri ini. Dengan adanya 4 Bank Umum Syariah (BUS), 27 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 128 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) (Bank Indonesia, 2008), penulis melihat besarnya peran industri perbankan syariah terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama pada sektor riil.

Potensi ini harus direvitalisasikan dengan adanya pernyataan dari Kamar Dagang Indonesia (Kadin), sebagaimana dikutip dari harian ini (Detikfinance.com, 8 Oktober 2009), meminta agar perbankan nasional untuk lebih banyak menyalurkan kredit ke sektor riil agar pertumbuhan ekonomi tahun depan lebih berkualitas. "Kalau yang ditumbuhkan hanya kredit konsumsi maka pertumbuhan ekonominya juga tidak berkualitas", ujar Ketua Kadin, MS Hidayat.

Menurut Hidayat, mulai tahun depan perbankan nasional harus meningkatkan komitmennya dalam penyaluran kredit di sektor riil seperti manufaktur, infrastruktur, dan ketahanan pangan. "Untuk tahun depan pengusaha butuh itu", ungkapnya. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk memperkuat posisi industri perbankan syariah di Indonesia.

Peranan perbankan syariah seharusnya dilihat sebagai peluang strategis untuk industri perbankan nasional dan juga perekonomian Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian, ada beberapa catatan kritis yang penulis ingin sampaikan.

Pertama, walaupun UU Perbankan Syariah telah disahkan oleh Pemerintah bersama DPR RI pada pertengahan Juni 2008 lalu. Tetapi, perkembangan industri perbankan syariah di negeri ini masih terbilang sangat lambat. Total aset perbankan syariah hanya sebesar 2% total aset perbankan nasional.

Sangat berbeda dengan Malaysia. Pertumbuhan perbankan syariah di negeri jiran ini melaju dengan sangat cepat dan diprediksikan pada akhir tahun 2010 nanti Malaysia mentargetkan total aset industri perbankan syariah akan tumbuh sebesar 20%. Sangat besar perbedaan total aset perbankan syariah kita dengan negeri jiran ini.

Dengan disahkannya UU perbankan syariah seharusnya pertumbuhan industri perbankan syariah harus lebih baik lagi. Oleh karena itu, perlunya sosialisi yang intensif dan political will dari pemerintah agar dengan sungguh-sungguh memberikan perhatian terhadap perkembangan industri perbankan syariah di tanah air.

Kedua, industri perbankan syariah masih banyak memberikan pembiayan yang berupa kredit konsumsi (Debt Financing). Data terbaru dari Bank Indonesia menunjukkan kredit konsumsi dengan kontrak ('aqd) murabahah atau transaksi jual beli merupakan komposisi pembiayaan terbesar industri perbankan syariah yang mencapai 60%. Sedangkan komposisi pembiayaan yang berupa equity financing atau kredit mudharabah (sistem bagi hasil) dan musyarakah (sistem partnership) masih di bawah 40%.

Ini adalah pertanda bahwa fungsi dan peran alami perbankan syariah belum lagi pro kepada perkembangan sektor riil. Oleh karena itu, perbankan syariah seharusnya lebih inovatif untuk mengembangkan produk-produk pembiayaan yang mengutamakan investasi kepada sektor riil seperti kredit mudharabah dan musyarakah ini.

Ketiga, permasalahan pembiayaan murabahah yang tidak syariah compliance. Kredit konsumsi murabahah (debt financing) seolah-olah memberikan kesan bahwa perbankan syariah mencoba melepaskan diri untuk mengambil risiko dalam berusaha. Dalam Fiqh Muamalat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan kontrak murabahah antaranya barang yang akan dijual harus exist dan dimiliki oleh penjual.

Dalam contoh kasus, untuk kredit perumahan dengan menggunakan kontrak murabahah, secara ideal, bank syariah seharusnya membeli dulu rumah yang akan dijual kepada nasabah daripada developer. Dengan kata lain bank harus memiliki rumah yang akan dijual kepada nasabah dan keuntungan yang diambil dari transaksi jual beli adalah halal sebagaimana Allah telah berfirman dalam QS Al Baqarah 275. Telah Allah halalkan jual beli dan Allah mengharamkan riba.

Pada kenyataanya bank syariah tidak memiliki rumah yang akan dijualkan kepada nasabah. Bank hanya memberikan pinjaman (loan) dan tidak melakukan transaksi jual beli secara murni, disebabkan bank tidak mau mengambil risiko kredit yang tinggi dan cenderung untuk bermain aman. Dengan demikian kredit murabahah sama saja seperti pinjaman kredit bank konvensional. Bank hanya memberikan pinjaman dan nasabah harus mengembalikan pinjaman kepada bank ditambah dengan pembayaran bunga.

Bunga bank sudah jelas haram karena kontrak yang dipakai ialah kontrak pinjaman dan mengambil keuntungan dari uang yang dipinjamkan adalah riba. Di dalam ekonomi syariah uang bukan sebagai komoditi untuk meraup keuntungan melainkan ia adalah sebagai alat tukar di dalam perdagangan.

Dengan demikian terlihatlah tidak adanya perbedaan mendasar antara pembiayaan murabahah dan pinjaman berbunga (interest loan). Pada kenyataanya, sistem penghitungan keuntungan murabahah dengan pinjaman berbunga bisa dikatakan sama.

Pada bank konvensional penghitungan pinjaman berbunga ditunjukkan dengan persamaan D = L (1 + rt), di mana D = Debt (Hutang), L = Loan (pinjaman), rt = Rate of Interest (tingkat suku bunga). Sedangkan pembiayaan murabahah menggunakan model persamaan Pm = Pc (1 + rt), dimana Pm = Price of Murabahah (harga jual Pembiayaan murabahah), Pc = Price of cost (harga beli) dan rt = rate of profit (tingkat keuntungan). Walaupun secara matematika penghitungan keuntungan antara perbankan konvensional dan perbankan syariah sama, tetapi secara filosofi dan kontrak seharusnya berbeda.

Jadi perbankan syariah harus lebih berani untuk mengambil risiko pembiayaan karena di dalam Fiqh Muamalat keuntungan boleh diperoleh dengan adanya jual beli, risk sharing, dan juga investasi yang bersifat bagi hasil serta partnership. Apabila bank syariah memberikan kredit murabahah maka transaksi jual beli secara murni harus dilakukan. Walaupun total aset perbankan syariah masih dibawah 2%.

Dengan adanya peningkatan mutu dan pelayanan serta produk simpanan dan pembiayaan yang inovatif dan lebih syariah compliance, perbankan syariah akan berkembang dan tumbuh secara significant. Penulis yakin bahwa industri perbankan syariah akan memberikan dampak positif kepada perkembangan perekonomian nasional kita ke depan.

Terutama pada sektor riil dan juga usaha kecil dan menengah (UKM). Tentu saja dengan harapan perbankan syariah harus lebih berani mengambil risiko dan juga mengutamakan produk pembiayaan mudharabah dan musyarakah sebagai senjata pamungkas di masa yang akan datang.

ZAKAT MAL

BAB I
PENGERTIAN ZAKAT

A.MAKNA ZAKAT
Zakat menurut lughoh (bahasa) mengandung pengertian mensucikan atau membersihkan, tumbuh dan berkembang serta berkah, Menurut hukum Islam (istilah syara’) zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu, dari harta tertentu, menurut sifat-sifat tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu.Di sisi lain zakat diistilahkan dengan shadaqah atau infaq. Sebagian ulama fiqh mengatakan bahwa shadaqah wajib dinamakan zakat, sedangkan shadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.

B.HUKUM ZAKAT
Zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Sabda Rasulullah saw, Orang yang tidak mau membayar zakat masuk neraka (HR Thabrani)

C.MACAM-MACAM ZAKAT
Zakat terbagi dalam dua macam. Yakni Zakat Nafs (jiwa) atau juga disebut zakat fitrah dan Zakat Maal (harta).

D.SYARAT-SYARAT WAJIB ZAKAT
Seseorang yang wajib mengeluarkan zakat diharuskan :
1.Seorang Muslim
2.Baligh
3.Berakal
4.Memiliki harta yang mencapai nishab

BAB II
ZAKAT MAL

A.PENGERTIAN MAL
Mal atau harta secara bahasa mengandung pengertian segala sesuatu yang dinginkan sekali oleh manusia untuk dimiliki, menyimpan dan memanfaatkan.

B.SYARAT KEKAYAAN YANG WAJIB DIZAKATI
Harta atau kekayaan yang dimiliki seseorang muslim menjadi wajib untuk dizakati apabila telah memenuhi syarat-syarat:
1.Harta tersebut dalam pemanfaatan dan penggunaannya berada dalam kontrol dan kekuasaan pemiliknya secara penuh dan didapatkan dengan cara yang dibenarkan oleh syariat Islam. (almikutam)
2.Harta tersebut dapat berkembang atau bertambah.
3.Harta tersebut telah mencapai batas tertentu (mencapai nisab) sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
4.Harta tersebut telah dimiliki selama setahun (mencapai haul). Syarat ini tidaklah mutlak, sebab ada harta-harta yang wajib untuk dizakati sebelum dimiliki selama setahun.

C.HARTA YANG WAJIB DIZAKATI
Beberapa macam harta yang wajib dizakati:
1.Emas dan perak (QS At Taubah:34)
 Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”
2.Tanaman dan buah-buahan (QS Al An’am: 141)
 Artinya : “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.
3.Segala macam usaha yang baik dan halal (QS Al Baqarah; 267)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
4.Kekayaan yang dinyatakan secara umum. (QS At Taubah: 103)

D.PRINSIP-PRINSIP SUMBER ZAKAT
Ada empat prinsip sumber zakat:
1.Zakat terdapat pada semua harta yang mengandung “ilat” kesuburan atau berkembang,
2.Zakat dikenakan pada semua jenis tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang bernilai ekonomis.
3.Zakat terdapat pada segala harta yang dikeluarkan dari perut bumi, baik yang berbentuk padat maupun yang berbentuk cair.
4.Gaji, honor dan uang jasa yang kita terima didalamnya ada harta zakat yang wajib kita tunaikan.

BAB III
NISAB DAN KADAR ZAKAT

A.ZAKAT TERNAK
1.Sapi, Kerbau dan Kuda
Nishab kerbau dan kuda disetarakan dengan nishab sapi yaitu 30 ekor.
Jumlah Ternak Zakat
30 – 39 1 ekor sapi jantan/betina tabi'
40 – 59 1 ekor sapi betina musinnah
60 – 69 2 ekor sapi tabi'
70 – 79 1 ekor sapi musinnah dan 1 ekor tabi'
80 – 89 2 ekor sapi musinnah
Selanjutnya setiap jumlah itu bertambah 30 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor tabi'. Dan jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor musinnah. (HR. At Turmuzdi: No. 565)

2.Kambing/domba
Nishab kambing/domba adalah 40 ekor,
Jumlah Ternak Zakat
40 – 120 1 ekor kambing (2 th) atau domba (1 th)
121 – 200 2 ekor kambing/domba
201 – 300 3 ekor kambing/domba
Selanjutnya, setiap jumlah itu bertambah 100 ekor maka zakatnya bertambah 1 kor.

3.Unta
Nishab unta adalah 5 ekor,
Jumlah Ternak Zakat
5 – 9 1 ekor kambing atau domba
10 – 14 2 ekor kambing/domba
15 – 19 3 ekor kambing/domba
20 – 24 4 ekor kambing/domba
25 – 35 1 ekor unta bintu Makhad
36 – 45 1 ekor unta bintu Labun
45 – 60 1 ekor unta Hiqqah
61 – 75 1 ekor unta Jadz’ah
76 – 90 2 ekor unta bintu Labun
91 – 120 2 ekor unta Hiqqah
Selanjutnya, jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor maka zakatnya bertambah 1 ekor bintu Labun, dan setiap jumlah itu bertambah 50 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor Hiqqah.

4.Ternak Unggas (ayam, itik, burung, dll) dan Lebah
Nishab ternak yang diperdagangkan adalah setara dengan 20 Dinar (1 Dinar = 4,25 gram emas murni) atau sama dengan 85 gram emas. Artinya bila seorang berternak unggas atau perikanan, dan pada akhir tahun (tutup buku) ia memiliki kekayaan yang berupa modal kerja dan keuntungan lebih besar atau setara dengan 85 gram emas murni, maka ia terkena kewajiban zakat sebesar 2,5 %
Contoh :
Moh. Husain adalah seorang peternak ayam broiler. Ia memelihara 100 ekor ayam perminggu, pada akhir tahun (tutup buku) terdapat laporan keuangan sebagai berikut :
1.Ayam broiler 4800 ekor seharga
2.Uang Kas/ Bank
3.Stok pakaian & obat-obatan
4.Piutang (yang dapat ditagih) Rp 15.000.000
Rp 10.000.000
Rp 2.000.000
Rp 4.000.000
Total Rp 31.000.000

5.Utang yang jatuh tempo Rp 5.000.000 Saldo Rp 26.000.000 Maka jumlah zakat yang harus dikeluarkan adalah = 2,5 % x Rp.26.000.000,- = Rp 650.000,-
Catatan :
Kandang dan alat peternakan tidak diperhitungkan sebagai harta yang wajib dizakati.
Nishab besarnya 85 gram emas murni, jika @ Rp 90.000,00 maka 85 x Rp 90.000,00 = Rp 7.650.000,00

5.Zakat produk hewani
Sekarang ini banyak orang memelihara ayam untuk diambil telurnya, memelihara sapi untuk diambil susunya, memelihara ulat sutra untuk diambil benang sutranya, dan lebah untuk diambil madunya. Zakatnya 5 s/d 10%. (dinisbatkan ke zakat pertanian)
Tetapi ada ulama fikih seperti madzab Zaidiyah berpendapat bahwa zakat susu dan benang sutra dikenakan zakatnya seperti barang perdagangan yaitu 2,5 %. Nilainya diperhitungkan setelah satu tahun.

B.ZAKAT EMAS DAN PERAK
1.Zakat emas dan perak
Nishab emas adalah 20 Dinar (85 gram emas murni) dan perak adalah 200 dirham (setara 672 gram perak). Artinya bila seseorang telah memiliki emas sebesar 20 Dinar atau perak 200 Dirham dan sudah setahun, maka ia telah terkena wajib zakat, yakni sebesar 2,5 %.
2.Zakat Perhiasan, bejana dan seni
Perhiasan emas dan perak, ada dua macam. Pertama, perhiasan untuk rumah tangga seperti bejana dan benda-benda seni. Kedua, perhiasan untuk dipakai.
Para ulama sepakat mengharamkan benda-benda seni tebuat dari emas dipamerkan di dalam rumah. Karena tidak menjadi manfaaat dan tidak berkembang sebagai modal usaha. Ini dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan sosial.
3.Zakat pertambangan dan Kekayaan laut
Zakat yang dikeluarkan dari harta hasil tambang, kekayaan laut, pertanian garam, peternakan ikan dan harta karun berkisar antara 2,5 % hingga 20 %.
Demikian juga bebatuan yang mengandung nilai ekonomis. Jelasnya semua barang yang keluar dari tanah yang bernilai ekonomis wajib dikenakan zakat.
Contoh:
Pak Marto seorang pengusaha tambang batu permata. Dari hasil usaha ini tiap bulan ia bisa mengantongi uang yang cukup untuk keluarganya. Ia tiap bulan bisa menjual batu permata atau menyisihkan keuntungan Rp 800.000,00. Kewajiban zakat yang harus dibayar pak Marto adalah selama setahun bekerja menambang batu permata 2,5 % x Rp 9.600.000,00 = Rp 240.000,00

Setiap usaha yang mengambil kekayaan dari bumi untuk diperdagangkan seperti perusahaan batako yang mengambil bahan baku dari pasir tanah, pengusaha genting, pengusaha batu bata merah dan lain-lain, zakatnya dihitung setelah setahun yang besarnya 2,5 %.
5.Pertanian Garam dan Peternakan Ikan
Yang dimaksud dengan peternakan ikan disini adalah ikan tambak baik ikan air asin maupun air tawar (kolam ikan). Pertanian garam dan peternakan ikan itu zakatnya dapat disamakan dengan hasil tanaman, karena ditinjau dari penguasaan sarana dan proses penanaman serta pemeliharaannya.

C.ZAKAT PERNIAGAAN
1.Dasar Hukum
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik….(QS Al Baqarah: 267)
“Rasulullah SAW memerintahkan kami supaya mengeluarkan shadaqah dari segala yang kami jual” (HR Abu Dawud)
2.Zakat Perniagaan
Harta perniagaan, nishabnya adalah 20 Dinar (setara dengan 85 gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau setara dengan 85 gram emas (jika pergram Rp 90.000,- =Rp 7.650.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 %
Contoh:
Pak H. Rameli adalah seorang pengusaha cor logam di desa Batur. Ceper. Klaten. Pada tutup buku per Januari 2003 dengan keadaan sebagai berikut:
1.Produk jadi yang belum terjual seluruhnya memiliki nilai nominal
2.Uang Tunai
3.Piutang
Rp 10.000.000.-
Rp 15.000.000.-
Rp 2.000.000.-
Total Rp 27.600.000
Utang yang harus dilunasi Rp 7.000.000
Saldo Rp 20.000.000
Besar zakat = 2,5 % x Rp 20.000.000,00 =Rp 500.000,00

Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dan lain lain, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk dalam kategori barang tetap (tidak berkembang).

D.ZAKAT PERTANIAN
1.Zakat Tanaman
Tanam-tanaman tersebut antara lain adalah ;
1.Biji-bijian, jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, jelai, dan sebagainya.
2.Umbi-umbian dan sayur-sayuran; umbi kentang, ubi kayu, bengkoang, bawang, cabe, pete, kol dan lain-lain.
3.Buah-buahan; kelapa, pisang, durian, rambutan, duku, sawo, salak, apel, jeruk, pepaya, alpokat dan lain-lain.
4.Tanaman hias; anggrek, segala jenis bunga dan sebagainya.
5.Rumput-rumputan; serai (minyak serai), bambu, rumput ngaladana dan lain-lain
6.Tanaman keras; karet, kelapa sawit, cengkeh, kopi, kayu cendana, kayu jati, kayu manis dan lain-lain.
7.Daun-daunan; teh dan tembako.
8.dan lain-lain.

Besarnya zakat tanaman berkisar antar 5 hingga 10 %, tergantung dari mudah susahnya, dan biaya yang dikeluarkan selama proses perawatan selama tanam hingga panen. Nisab hasil tanaman adalah 85 gram emas atau kalau yang bisa ditakar seperti biji-bijian setara dengan 520 kg beras.
Contoh:
Pak Nugroho Prasetyo seorang pengusaha kebun cengkeh. Pada panen tahun ini menghasilkan 600 kg cengkeh. Kalau harga cengkeh perkilogram Rp 20.000,00 maka zakat yang harus dikeluarkan pak Nugroho prasetyo adalah:
a.10% x 12.000.000,00 = Rp 1.200.000,00 (kalau tidak membutuhkan biaya perawatan kebun cengkeh)
b.5% x 12.000.000,00 = Rp 600.000,00 (kalau membutuhkan biaya perawatan kebun cengkeh)

Jadi untuk tanaman kopi, cengkeh, lada, jambu monyet, pisang, kelapa sawit dan lain lain yang kadang-kadang bisa panen tiap hari maka bisa dimasukkan dalam kelompok perdagangan dan yang paling penting adalah tidak menghindari kewajiban zakat.
Untuk hasil tanaman yang diperdagangkan yang dipanen dari kebun sendiri dizakati ketika saat panen. Tetapi kalau hasil tanaman itu diperoleh dari beli dan dijual kembali untuk mendapatkan untung maka yang dizakati adalah keuntungannya setelah mencapai nisab dan sampai batas haul (satu tahun).

2.Zakat Pertanian Nishab hasil pertanian adalah 5 wasq atau setara dengan 520 kg beras. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum, kurma dan lain-lain, maka nishabnya adalah 520 kg dari hasil pertanian tersebut.
Tetapi jika hasil pertanian itu selain makanan pokok, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daun, bunga dan lain-lain, maka nishabnya disetarakan dengan harga nishab dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut (di negeri kita = beras). Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila diairi dengan air hujan, atau sungai, mata air, maka 10%, apabila diairi dengan cara disiram, irigasi (ada beaya tambahan) maka zakatnya 5%. Pada sistem pertanian saat ini, beaya tidak sekedar air, akan tetapi ada beaya lain seperti pupuk, insektisida dan lain-lain. Maka untuk mempermudah perhitungan zakatnya, biaya pupuk, intektisida dan sebagainya diambil dari hasil panen, kemudian sisanya (apabila lebih dari nishab) dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% (tergantung sistem pengairannya).

3.Zakat Tanah yang disewakan Islam menganjurkan kepada umatnya yang memiliki lahan atau tanah supaya diolah sedemikian rupa agar mendapatkan hasil. Tanah harus diolah, baik diolah sendiri maupun diserahkan kepada orang lain. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh:
a.Tanah dipinjamkan kepada orang lain untuk diolah dan ditanami, tanpa memungut imbalan. Yang demikian ini adalah perbuatan terpuji yang dianjurkan dalam Islam. Apabila sampai nisab zakatnya dibebankan kepada si peminjam.
b.Tanah diserahkan kepada si penggarap dengan suatu perjanjian bagi hasil atau dengan ketentuan yang lain. Maka bila sampai nisab zakatnya dibebankan kepada kedua belah pihak. Atau dikeluarkan zakatnya dulu sebelum dibagi.
c.Tanah yang disewakan kepada orang lain dalam bentuk uang. Disini timbul masalah, siapa yang membayar zakatnya? pemilik atau penyewa? Menurut hemat penulis apabila uang sewa mencapai nisab maka wajib bagi pemilik membayar zakat begitu juga penyewa. Apabila hasil telah sampai nisab, wajib pula baginya mengeluarkan zakatnya. Apabila lahan tanah ditanami dengan berbagai macam tanaman maka cara menghitung zakatnya (walaupun zakat pertanian) sebaiknya dihitung hasilnya dengan uang dan apabila telah sampai nisab maka dikeluarkan zakatnya 2,5%.

E.ZAKAT PROFESI
1.Dasar Hukumnya
Firman Allah SWT:
“Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik”. (QS Al Baqarah 267)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.

2.Hasil Profesi
Hasil profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa salaf (generasi terdahulu), Meskipun demikian bukan berarti harta yang didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat, sebab zakat pada hakekatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantara mereka (sesuai dengan ketentuan syara'). Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Dengan demikian hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk menunaikan zakat.

F.SAHAM DAN OBLIGASI
Pada hakekatnya baik saham maupun obligasi (juga sertifikat bank) merupakan suatu bentuk penyimpanan harta yang potensial berkembang. Oleh karenanya masuk ke dalam kategori harta yang wajib dizakati, apabila telah mencapai nishabnya. Zakatnya sebesar 2.5% dari nilai kumulatif riil bukan nilai nominal yang tertulis pada saham atau obligasi tersebut, dan zakat itu dibayarkan setiap tahun.
Contoh:
Pak Budi Tri Harsono memiliki 500.000 lembar saham PT. Wulan Permata, harga nominal Rp 5.000/lembar. Pada akhir tahun (tutup buku) tiap lembar mendapat deviden Rp 300,- Total jumlah harta (saham) = Rp 500.000,- x Rp 5.300,- = Rp 2.650.000.000,-
Maka Zakat yang harus dikeluarkan Pak Budi Tri Harsono = 2,5% x Rp 2.650.000.000,- = Rp 66.750.000,-

G.UNDIAN ATAU KUIS BERHADIAH
Harta yang diperoleh dari hasil undian atau kuis berhadiah merupakan salah satu sebab dari kepemilikan harta yang diidentikkan dengan harta temuan (Rikaz). Oleh sebab itu jika hasil tersebut memenuhi kriteria zakat, maka wajib dizakati sebasar 20% (1/5). Undian atau kuis berhadiah ada dua macam. Pertama, undian atau kuis berhadiah yang mengandung unsur perjudian (ada yang dipertaruhkan untuk mendapatkan hadiah). Kedua, undian atau kuis yang tidak mengandung unsur judi. Kalau undian yang mengandung unsur judi , tidak ada zakat atasnya.

H.PROPERTI (HASIL PENJUALAN RUMAH)
Harta yang diperoleh dari hasil penjualan rumah (properti) atau penggusuran, dapat dikategorikan dalam dua macam:
A.Penjualan rumah yang disebabkan karena kebutuhan, termasuk penggusuran secara terpaksa, maka hasil penjualan (penggusurannya) lebih dulu dipergunakan untuk memenuhi apa yang dibutuhkannya. Apabila hasil penjualan (penggusuran) dikurangi harta yang dibutuhkan jumlahnya masih melampaui nisab maka ia berkewajiban mengeluarkan zakatnya sebesar 2.5% dari kelebihan harta tersebut.
Contoh:
Pak Mansur terpaksa menjual rumah dan pekarangannya yang terletak di sebuah jalan protokol Malioboro Yogyakarta, sebab ia tak mampu membayar pajaknya. Dari hasil penjualan Rp.150.000.000,- Ia bermaksud untuk membangun rumah di pinggiran kota yang terletak di desa Minomartani dan diperkirakan akan menghabiskan anggaran Rp.90.000.000,- selebihnya akan ditabung untuk bekal hari tua. Zakat yang harus dikeluarkan Pak Mansur adalah 2.5% x (Rp.150.000.000 - Rp.90.000.000)= Rp.1.500.000,-

B.Penjualan rumah (properti) yang tidak didasarkan pada kebutuhan maka ia wajib membayar zakat sebesar 2.5% dari hasil penjualannya.
Program Penyaluran yang dilakukan Rumah Zakat:
1.Operasi Katarak Gratis
2.Operasi Hernia Gratis
3.Operasi Bibir Sumbing Gratis
4.Klinik Kesehatan Gratis
5.Mobil Jenazah Gratis
6.Santunan Da’i
7.Santunan Pendidikan
8.Pemberdayaan Ekonomi Ummat