Oleh Meidina Arimbi Rushartami Meningkatnya pertumbuhan perbankan syariah dari tahun ke tahun menyebabkan keberadaan perbankan syariah tidak lagi sebagai penggandeng bank-bank konvensional. Hal ini dibuktikan dengan tingginya pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia rata-rata hingga 60 persen pertahun. Karena itulah, dibutuhkan pemahaman yang tinggi pada masyarakat terhadap keberadaan perbankan syariah serta kesadaran tinggi dalam menggunakan berbagai produk perbankan syariah. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan kampanye yang serius digarap demi memasyarakatkan perbankan syariah. Tentunya, sosialisasi perbankan syariah dilakukan tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari berbagai pihak yang terkait. Indonesia, memiliki potensi yang besar dalam mengembangkan perbankan syariah maupun pengelolaan keuangan sesuai syariah. Tingginya pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia dapat meningkatkan pula kemakmuran masyarakatnya. Pelan-pelan perbankan syariah mulai menanjak menunjukkan "gigi"nya. Sejak pertama kali hadir di Indonesia pada awal dekade 90-an, keberadaan perbankan syariah semakin diperhitungkan. Sistem keuangan berbasis ekonomi Islam yang didasari oleh hukum Islam, dimana mengharamkan sistem riba ini, tentunya menguntungkan bagi para investor maupun perekonomian kita. Tidak heran, hanya dalam waktu hampir sepuluh tahun, perbankan syariah sudah mampu menyaingi perbankan konvensional. Berbagai upaya pun sudah dilakukan baik dari pemerintah maupun dari pihak yang terkait. Berbagai festival yang berbau syariah pun dilakukan demi memperkenalkan perbankan syariah ke mata masyarakat. Seminar, diskusi-diskusi pun tak luput dilakukan. Bahkan, kini sudah ada beberapa lembaga pendidikan yang memasukan kurikulum tentang syariah dalam perkuliahaannya. Selain itu, banyak pula situs-situs di internet khusus mengenai syariah. Bank-bank syariah pun sudah mulai mengiklankan diri di media-media dari media cetak, elektronik hingga online. Dampaknya, masyarakat mulai melirik keberadaan perbankan syariah sebagai lahan yang subur untuk berinvestasi. Asuransi atau pun lembaga keuangan lainnya pun mulai menciptakan divisi syariah dalam perusahaannya. Hingga bermunculan kata "syariah" terangkai mengikuti nama bank, asuransi, atau pun lembaga keuangan lainnya. Pesatnya pertumbuhan perbankan syariah pun tidaklah lepas dari banyaknya produk-produk perbankan syariah sendiri. Diantaranya, jasa untuk peminjaman dana maupun investasi. Selain itu, pengelolaan keuangan yang berbasis hukum Islam pun turut membantu membesarkan perbankan syariah di masyarakat. Tidak hanya pengelolaan keuangan yang baik, Undang-undang yang dikeluarkan pemerintah dalam menggalang perbankan syariah pun dirasa turut serta menjadikan keberadaan perbankan syariah sebagai bagian penting dalam industri perbankan di Indonesia. Peraturan BI Nomor 8/3/PBI/2006 tentang layanan syariah yang dapat dilakukan di kantor cabang konvensional, menyebabkan keberadaan perbankan syariah semakin mantap. Sayangnya, Indonesia yang berpenduduk kurang lebih 238 juta orang yang sebagian besar beragama Islam ini, hanya sebagian kecil yang paham mengenai syariah. Padahal, jika kita menilik kembali pentingnya perbankan syariah sebagai penopang dalam perekonomian di Indonesia, sudah saatnya keberadaan perbankan syariah di Indonesia ini memasyarakat di kalangan kita. Jika begini, timbul pertanyaan siapakah yang harus bertanggung jawab?
Perlu Kampanye Serius untuk Masyarakatkan Perbankan Syariah
Sunatullah Uang dan Air
Ada ungkapan menarik yang terlontar dari Prof Didik J. Rachbini saat meresmikan BMT Niriah STAIM di Tangerang Ahad (9/2/2008). Katanya, air dan uang memiliki persamaan sekaligus perbedaan. Persamaan keduanya adalah sama-sama likuid alias cair. Sedangkan bedanya, jika air menetes ke bawah, maka uang menetesnya ke atas. Hahaha... pendengar pun terbahak. Ungkapan cerdas tersebut terasa menohok! Menohok karena memang begitulah kenyataan sehari-hari yang tampak di depan mata kita: yang kaya semakin miskin, yang miskin jadi lebih miskin. Tak heran bila kemudian berkembang olok-olok bahwa di Indonesia kemiskinan dari waktu ke waktu semakin berkurang. Penyebabnya, bukan lantaran orang miskin tersebut menjadi kaya, melainkan karena perlahan-lahan mereka mati kelaparan. Sebuah olok-olok yang mungkin berlebihan. Namun faktanya bagaimana? Dalam acara yang digelar di aula STAIM Cikokol Tangerang tersebut Didik mengungkapkan keprihatinannya ekonomi Indonesia dan "distribusi kekayaan" yang tidak merata. Ia mengilustrasikan kondisi perekonomian Indonesia, khususnya pada zaman orde baru, yang mirip gelas gelas minuman yang mengembung pada bagian atas, dengan bagian tengahnya yang ramping dan bawahnya ceper. Menurut Didik, gambaran itu mewakili kondisi ekonomi dengan distribusi kekayaan yang tidak merata. Dalam masyarakat berkasta, demikian jelasnya, sudah menjadi sunatullah bahwa kekayaan cenderung memusat pada kasta tertinggi, lalu dinikmati sedikit orang di bagian tengah baru setelah itu bagian bawah menerima rembesannya. Karenanya, kata Didik, itu tak boleh kita biarkan. Kita harus melakukan sesuatu agar kekayaan, seperti halnya air, bisa menetes ke bawah. Yang pasti membuat uang menetes ke bawah jelas tidak mudah. Karena, sunatullahnya kekayaan itu menetesnya memang ke atas. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Mendirikan lembaga keuangan mikro, semisal BMT, bisa merupakan ikhtiar menuju kesana. "Ini jihad besar!" ujar Didik bersemangat disambut anggukan peserta diskusi yang memadati aula STAIM Cikokol Tangerang. Dalam acara tersebut, Didik yang duduk di majelis ekonomi Muhammadiyah ini didaulat sebagai key note speaker. Setelah menyampaikan pandangan-pandangannya selama sekitar satu jam, acara dilanjutkan dengan diskusi "Pemberdayaan UMKM dengan Dukungan Teknologi Informasi dan Internet".
Praktik Bisnis Haram yang Harus Dihindari
Bisnis dan kecurangan ibarat dua sisi mata uang. Dimana ada bisnis, disitu kecurangan. Praktik-praktik curang dalam berbisnis seperti tak terhindarkan. Namun berbisnis dengan cara kotor bukan jaminan sukses. Lagipula dalam Islam, berbisnis curang dan kotor itu hukumnya haram. Ahmad Muhajir dalam Laporan Utama Majalah Gontor Edisi Januari 2008 mengemukakan delapan praktik bisnis yang diharamkan dalam Islam. Berikut penjelasannya: Ada tiga jenis riba yang sering dilakukan. Pertama, riba fadl atau riba buyu’, yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang yang sejenis, tapi tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya, sama kuantitasnya, dan sama waktu penyerahan barangnya. Pertukaran seperti itu mengandung unsur ketidakjelasan nilai barang pada masing-masing pihak. Akibatnya, bisa mendorong orang berbuat zalim. Kedua, riba nasi’ah atau riba yang muncul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria. Keuntungan muncul tanpa adanya risiko dan hasil usaha muncul tanpa adanya biaya. Padahal, dalam dunia bisnis kemungkinan untung dan rugi selalu ada. Memastikan sesuatu di luar wewenang sifatnya zalim. Ketiga, riba jahiliah atau utang yang dibayar melebihi pokok pinjaman, karena peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman sesuai waktu yang ditentukan. Orang yang melakukan gharrar biasanya tidak memikirkan risiko yang bisa terjadi pada orang lain. Si pelaku hanya memikirkan keuntungan besar yang akan ia dapatkan. Contohnya banyak terjadi dalam jual beli barang. Si penjual mengaku kualitas barangnya bagus. Tapi setelah dibeli, ternyata jelek, bahkan hasil dari curian. Ada dua jenis gharrar: Gharrar dalam kuantitas dan gharrar dalam kualitas. Yang pertama, dapat dilihat pada sistem ijon, yaitu menjual hasil panen, tapi belum diketahui berapa banyak hasil panennya. Namun begitu, harga sudah disepakati. Sedang gharrar dalam kualitas bisa dilihat pada praktik jual beli anak sapi yang masih dalam kandungan. Anak sapi itu belum bisa dipastikan kondisi fisiknya, tapi juga sudah diperjualbelikan. Semua itu tentu saja bisa menimbulkan kekecewaan, jika harga yang disepakati tidak sesuai dengan jumlah atau kualitas barang yang diperjualbelikan. Praktik bisnis ini akan merugikan pihak lain yang memunyai kemampuan dan hak yang sama sekaligus merugikan lembaga atau orang lain.
1. Riba
Secara terang-terangan Allah SWT telah mengharamkan riba. ”Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS al-Baqarah 275).
2. Gharrar
Gharrar (ketidakpastian) atau taghrir adalah praktik penipuan dengan melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa ilmu yang cukup, atau mengambil risiko dari perbuatan yang mengandung risiko tanpa memikirkan akibat yang bisa ditimbulkan terhadap orang lain.
3. Riswah
Riswah atau praktik suap menyuap merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam. Rasulullah dalam sebuah Hadis menyatakan bahwa Allah dan Rasul-Nya akan melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap. Dalam praktiknya,riswah biasanya dilakukan untuk melancarkan sebuah urusan, menutupi sesuatu, menghilangkan kecacatan, atau memudahkan sesuatu yang sebenarnya tidak mungkin.
Marketing ala Nabi
Oleh BHS Muhammad Rasulullah, Nabi kita tercinta, adalah seorang saudagar ternama pada zamannya. Bahkan sejak usia muda, beliau dipandang sebagai sudagar sukses. Disadari atau tidak sukses tersebut tidak lepas dari aktivitas marketing yang diterapkannya --yang tak cuma ampuh tapi juga sesuai syariah dan, tentu saja, penuh ridlo dari Allah. Jika Anda tertarik menerapkannya, selain mendapat keuntungan, insyaallah bisnis Anda pun barokah. Inilah empat tips marketing a la Nabi: 1. Jujur adalah Brand Nabi Muhammad SAW mengambil stok barang dari Khadijah, konglomerat kaya yang akhirnya menjadi istrinya. Dia sangat jujur terhadap Khadijah. Dia pun jujur kepada pelanggan. Saat memasarkan barangnya dia menjelaskan semua keunggulan dan kelemahan barang yang dijualnya. Bagi Rasulullah kejujuran adalah brand-nya. 2. Mencintai Customer Sikap ini mengingatkan pada hadits yang beliau sampaikan, "Belum beriman seseorang sehingga dia mencintai saudaramu seperti mencintai dirimu sendiri." Dalam dunia pemasaran, ini berarti Rasulullah selalu memberikan value produknya seperti yang diiklankan atau dijanjikan. Dan untuk itu butuh upaya yang tidak kecil. Pernah suatu ketika Rasulullah marah saat ada pedagang mengurangi timbangan. Inilah kiat Nabi menjamin customer satisfaction (kepuasan pelanggan). Di Indonesia mobil-mobil Toyota berjaya di pasar. Salah satu kiat pemasarannya adalah memberikan kepuasan pelanggan. Salah satu ukurannya adalah Call Centre Toyota dinobatkan sebagai call centre terbaik, mengalahkan Honda dan industri otomotif lainnya. 4. Segmentasi ala Nabi Pelajaran dari kisah itu adalah bahwa Nabi selalu mengajarkan agar kita memberikan good value untuk barang yang dijual. Sekaligus Rasulullah mengajarkan segmentasi: barang bagus dijual dengan harga bagus dan barang dengan kualitas lebih rendah dijual dengan harga yang lebih rendah. Dalam soal segmentasi ini, Yamaha Motor adalah salah satu perusahaan yang bisa dijadikan teladan. Dia menciptakan motor Yamaha Mio, dengan mesin ber-cc kecil, tapi otomatis, dan mudah penggunaannya untuk segmen pasar perempuan. Dialah pelopor industri motor yang membidiki segmen ini, segmen yang sebelumnya selalu dilupakan pesaing lain. Hasilnya, dengan Mio Yamaha menyodok Honda dan menjadi penjual nomor satu di Indonesia 2007 ini.
Saat berdagang Nabi Muhammad SAW muda dikenal dengan julukan Al Amin (yang terpercaya). Sikap ini tercermin saat dia berhubungan dengan customer maupun pemasoknya.
Dalam berdagang Rasulullah sangat mencintai customer seperti dia mencintai dirinya sendiri. Itu sebabnya dia melayani pelanggan dengan sepenuh hati. Bahkan, dia tak rela pelanggan tertipu saat membeli.
3. Penuhi Janji
Nabi sejak dulu selalu berusaha memenuhi janji-janjinya. Firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman penuhi janjimu." (QS Al Maidah 3).
Nabi pernah marah saat melihat pedagang menyembunyikan jagung basah di sela-sela jagung kering. Hal itu dengan Nabi, saat menjual barang dia selalu menunjukkan bahwa barang ini bagus karena ini, dan barang ini kurang bagus, tapi harganya murah.
GM PT Sofyan Hotels, Hamdany: Setelah Syariah, Bisnis Meningkat
Oleh Is Mujiarso Di kalangan masyarakat bisnis Jakarta, Hotel Sofyan sudah dikenal luas sebagai hotel yang dikelola secara syariah. Yang barangkali belum banyak disadari adalah fakta bahwa hotel tersebut merupakan bukti betapa penerapan syariah dalam bisnis adalah masa depan kesuksesan. Hotel Sofyan memulainya dari hal yang paling tidak terbayangkan, yakni menggabungkan antara bisnis hotel yang secara konvensional identik dengan hal-hal berbau maksiat dan syariah yang banyak berisi larangan. Dan, ternyata tidak ada yang mustahil, bahkan boleh dibilang tidak ada yang sesulit yang dibayangkan orang sebelumnya. Prinsip-prinsip syariah, ternyata, sama sekali bukan penghalang bagi bisnis. "Bahkan, setelah dievaluasi, peningkatannya menggembirakan, 15-18%. Artinya, dengan kondisi ini (dikelola secara syariah -red) pertumbuhan bisnisnya bagus," ujar General Manager PT Sofyan Hotels Hamdany ketika ditemui Niriah.com di kantornya di Hotel Sofyan Betawi, Jalan Cut Meutia, Jakarta Pusat. Pria yang belum genap setahun bergabung dengan Hotel Sofyan tersebut menegaskan, bahwa kendati dikelola secara syariah, sebagai bisnis jasa Hotel Sofyan diperuntukkan bagi umum tanpa memandang agama. "Customer kita banyak yang non-muslim. Mereka senang karena dengan prinsip syariah yang diterapkan, hotel ini jadi rapi, tidak ada perempuan yang berkeliaran," ungkap lajang kelahiran Bandung, 4 September 38 tahun yang lalu itu. Hamdany menceritakan, Hotel Sofyan dikelola secara syariah sejak 1992 dengan melalui tahap demi tahap. "Berangkat dari keinginan pihak pemegang saham untuk membangun bisnis yang bersih, maka penerapan syariah di hotel ini diawali dengan menghilangkan dulu makanan-makanan yang mengandung unsur babi.Baru kemudian menginjak ke minuman-minuman yang bersifat memabukkan dan mengandung alkohol.Berikutnya, fasilitas-fasilitas yang memicu ke arah maksiat seperti diskotek, bar, music club dihilangkan.Bahkan salon dulu juga ada, dihilangkan juga," papar dia. "Dari situ mulainya, berkembang sampai kita mendapatkan sertifikasi dari Dewan Syariah Nasional MUI pada Juli 2003 sebagai hotel yang dikelola sesuai prinsip syariah," tambah dia. Selain berangkat dari niat untuk menciptakan usaha yang benar-benar bersih, Hamdany tidak membantah bahwa faktor pasar juga ikut mendorong terjadinya konversi dari hotel konvensional ke syariah."Saya kira waktu itu memang sudah kelihatan bahwa pangsa pasarnya cukup menjanjikan," kata dia. Maka, sejak 1992 itu, terjadilah seleksi tamu di Hotel Soyan sehingga kemudian beredar joke di kalangan masyarakat bahwa menginap di hotel tersebut harus menunjukkan surat nikah."Tidak seekstrim itu," ujar Hamdany sambil tertawa."Yang terjadi memang, kita membatasi tamu yang check in, yang bukan suami-istri harus terpisah kamarnya.Dan, dengan dihilangkannya fasilitas-fasilitas tadi dengan sendirinya juga terjadi seleksi pasar." Semua proses itu, menurut Hamdany, berlangsung smooth dan lambat-laun, didukung upaya branding yang dilakukan pihak manajemen, Hotel Sofyan pun dikenal sebagai hotel syariah dan bisnisnya pun berkembang."Sekarang kita punya divisi pengembangan yang fungsinya memberi layanan konsultasi dan manajemen untuk hotel-hotel yang ingin dikelola secara syariah," jelas dia seraya menyebut, sudah ada 10 hotel yang berminat dan salah satunya, yang dalam waktu dekat dikerjakan, di Semarang.
Bisnis adalah Sebuah Ide
Oleh Zainal Abidin Pada zaman purba, manusia hidup dengan mengandalkan hasil berburu binatang atau memetik buah-buahan di hutan. Ketika mereka membutuhkan benda lain yang tidak mereka miliki, mereka melakukan tukar-menukar dengan orang-orang yang dikenalnya. Tukar-menukar itu kita sebut sebagai barter. Perkembangan selanjutnya, terbentuklah pasar. Manusia sudah mengenal budaya beternak dan bertani. Mereka memelihara ternak dan atau menanam tanaman. Mereka juga memproduksi berbagai barang kebutuhan manusia. Sistem barter sudah jarang dilakukan. Itu lah saat mereka mengenal alat tukar yang disebut uang. Sekali lagi, bisnis adalah sebuah ide. Berburu, beternak, bertani, memproduksi suatu barang, sistem barter, pembentukan pasar serta penggunaan uang adalah beberapa kegiatan yang dimulai dari sebuah ide. Dari sebuah ide, berkembang menjadi suatu bisnis yang kemudian menghasilkan uang. Tak bisa disangkal, ide bisnis selalu lahir dari sebuah organ yang terletak di antara dua telinga kita. Dan satu hal yang sering dilupakan, ide bisnis sering kali lahir secara gratis. Hanya sekedar memanfaatkan suatu benda yang beratnya tidak lebih dari 1,5 kg yaitu otak. Bisa otak kita, dan bisa juga otak orang lain. Ironisnya, organ inilah yang jarang kita pakai. Kali ini, saya ingin memberikan satu contoh, bagaimana sebuah ide, yang dari sisi substansi nyaris sama, bisa menghasilkan jumlah uang yang berbeda. Di Jakarta, seorang pemulung bisanya hanya punya penghasilan tidak lebih dari dua juta rupiah per bulan. Mereka menjual hasil pulungannya berdasarkan berat. Murah sekali. Di belahan dunia lain, di New York, ada anak muda yang dengan sengaja memilih profesi, yang di Indonesia disebut pemulung. Justin Cignac, nama anak muda itu. Ia mengumpulkan sampah di kota New York. Bedanya, ia mengemas sampah-sampah minuman dalam kemasan, kertas koran, bungkus kado dan bahkan bekas Police Line di dalam sebuah kotak akrilik berukuran 15 X 15 X 15 cm, kemudian diberi merk. New York City Garbage. Idenya sederhana. Sampah kota New York dikemas. Tidak sampai satu kilogram per kemasan. Ia tidak menjualnya secara kiloan seperti pemulung di Jakarta. Mau tahu harganya? Ia menjualnya dengan harga 4 dollar per kotak. Dan laku keras, bukan hanya dibeli para turis yang datang ke New York, tetapi juga dari pesanan mereka yang tidak punya biaya pergi ke New York tapi ingin punya souvenir sampah dari kota New York. Apa ide bisnis anda? Catatan Redaksi:
Ini adalah artikel perkenalan dari Zainal Abidin alias Bang Jay. Nantikan tulisan-tulisan Bang Jay seputar bisnis dan berbisnis yang akan segera hadir teratur diBlog Network Niriah.
Membangun Sinergi Perbankan Syariah
Oleh Merza Gamal Salah satu kendala serius yang dihadapi oleh usaha kecil dan mikro adalah kurangnya ketersediaan pembiayaan. Sekalipun pembiayaan itu esensial, hanya para pelaku usaha yang terkait dengan mata rantai pengusaha besar saja yang pada umumnya memperoleh pinjaman dari institusi perbankan ataupun institusi pembiayaan lainnya. Para pelaku usaha kecil dan mikro sangat tergantung untuk berhutang kepada para pedagang menengah dan besar, penyedia uang informal, para lintah darat atau keluarganya, sehingga bukan membantu berkembangnya usaha mereka, melainkan hanya memperpanjang kemiskinan orang-orang yang sudah miskin. Hal tersebut di atas kurang disentuh oleh Lembaga Perbankan Konvensional, karena untuk mendirikan jaringan kantor sebuah Bank Umum diperlukan investasi yang sangat besar, sehingga dinilai tidak ekonomis jika menggunakan teknis perbankan biasa. Salah satu misi berdirinya Bank Umum Syariah adalah memperbesar portfolio pembiayaan kepada pelaku usaha kecil (termasuk usaha mikro) dan menengah, sehingga untuk menjembatani hal tersebut perlu digalang suatu kemitraan antara Bank Umum Syariah dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah, yang terdiri dari BPR Syariah dan BMT formal dengan badan hukum Koperasi yang berdiri sendiri atau BMT yang dikelolah oleh Kelompok Swadaya Masyarakat di sentra-sentra industri dan pertanian melalui pengembangan dan penguatan fungsi BPRS dan BMT sebagai lembaga keuangan mikro alternatif guna melayani kebutuhan pendanaan ataupun penyimpanan dana oleh para petani, pengusaha atau industri kecil dan mikro, serta masyarakat rumah tangga di sekitar wilayah BPRS dan BMT tersebut berdiri dan beroperasi. Dalam rangka meningkatkan ekonomi umat sebagai bagian dari program pembangunan ekonomi kerakyatan, Bank Umum Syariah sudah seharusnya memanfaatkan dan memberdayakan BPRS dan BMT sebagai lembaga yang menghimpun masyarakat usaha kecil dan mikro dengan mengembangkan iklim usaha dalam lingkungan sosial ekonomi yang sehat dalam sebuah bentuk kemitraan berupa pembinaan manajerial koperasi, pengembangan sistem keuangan mikro dan kerjasama pembiayaan bagi para pengusaha kecil dan mikro. Tujuan dibentuknya program kemitraan antara Bank Umum Syariah dengan BPRS dan BMT adalah untuk: 1. Memberdayakan peranan BPRS atau BMT sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS); 2. Meningkatkan profesionalitas pengelola BPRS dan BMT; 3. Meningkatkan layanan dan operasional BPRS dan BMT sebagaimana layaknya sebuah Lembaga Perbankan dengan kapasitas yang lebih kecil; 4. Menjadikan BPRS dan BMT sebagai perpanjangan tangan dari Bank Umum Syariah, terutama untuk Usaha Kecil dan Mikro; 5. Membantu pembiayaan BPRS dan BMT dalam memperluas jaringan usaha. Pola kerjasama Program Kemitraan yang diterapkan dalam dua tahap yakni: 1. Kerjasama Peningkatan Management; 2. Kerjasama Pembiayaan; 3. Kerjasama Penghimpunan Dana Masyarakat Dalam kerjasama peningkatan manajemen, Bank Umum Syariah akan membantu BPRS dan BMT dalam beberapa tahapan yang bertujuan memberikan proses justifikasi terhadap sistem kerja dan teknik operasional BPRS atau BMT berdasarkan sistem kerja dan teknik operasional standar Bank Umum Syariah.Tahapan kerjasama peningkatan manajemen dari Bank Umum Syariah kepada BPRS dan BMT adalah berupa: 1. In House Training (pembekalan pengetahuan teoritis) 2. On the Job Training (magang penerapan kerja) 3. Pembinaan Operasional BPRS atau BMT secara profesional
Neoliberalisme dan Islam
Oleh Rizqullah Ditengah tengah hiruk pikuknya perdebatan tentang faham neoliberal dan kerakyatan dalam rangka Pilpres 2009-2014, seorang tokoh ekonomi islam yang sehari-hari biasa dipanggil “Bang Adi”, tiba-tiba muncul dengan tulisannya yang selalu menyegarkan dan menggelitik yaitu tentang Ekonomi Pancasila yang dikaitkan dengan maqasid syariahnya Imam al Syathibi. Tak urung tulisannya tersebut juga menuai berbagai tanggapan positif, negatif atau sinis, setidak-tidaknya dari milis ekonomi-syariah yang rutin saya ikuti. Sayapun tertarik untuk menanggapinya dengan tulisan ini dan sekaligus melanjutkan tulisan saya pada edisi sebelumnya tentang Neoliberalisme dan Islam.
Satu hal yang sering saya katakan dalam berbagai kesempatan adalah bahwa kita sering terjebak dalam pembicaraan yang hanya menyentuh kulit dan sedikit atau tidak utuh menyentuh isi sehingga yang terjadi adalah debat kusir dan membuat persoalan semakin tidak jelas serta membingungkan. Hal inipun terjadi dengan perbincangan tentang faham neoliberal dan kerakyatan karena keduanya saling dipertentangkan, padahal diantara keduanya memiliki berbagai nilai yang sebenarnya dapat saling melengkapi untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, pendekatan yang kita gunakan bukanlah mempertentangkan tetapi mencari titik temu kedua faham tersebut sebagaimana yang sekarang sedang dijual oleh SBY dengan istilah “ekonomi pertengahan” untuk memenangkan kampanye Pilpres saat ini. Perlu diingat bahwa islam adalah agama pertengahan dan ekonomi islam adalah ekonomi keseimbangan, yang notabene artinya adalah pertengahan pula.
Neoliberalisme:
Faham neoliberal bermula dari faham liberal yang dipromosikan oleh Adam Smith dalam bukunya “The Wealth of Nations” pada tahun 1776. Beliau berpendapat bahwa kebebasan dalam produksi dan perdagangan tanpa campur tangan pemerintah merupakan cara terbaik untuk membangun ekonomi suatu Negara. Kebebasan tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak pada kebebasan berusaha dan bersaing bagi pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan finansial sebesar-besarnya. Pada awalnya ekonomi liberal berjalan baik di Amerika antara tahun 1800 an dan awal 1900 an, sampai timbulnya depresi besar (Great Depression) pada tahun 1930 an yang mengakibatkan terjadinya pengangguran secara masif. Adalah John Maynard Keynes yang kemudian mengkritik faham liberal sebagai kebijakan terbaik untuk kapitalis. Keynes mengatakan bahwa untuk menjamin pertumbuhan ekonomi diperlukan lapangan kerja secara penuh (full employment) dan untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah dan bank sentral untuk menstabilkan dan mengoreksi ekonomi pasar yang bebas dalam rangka menciptakan lapangan kerja tersebut. Pemikirannya tersebut diterima oleh Presiden Roosevelt dan mampu memperbaiki kehidupan rakyat Amerika pada waktu itu. Periode campur tangan pemerintah tersebut berlangsung antara 1950 an dan 1960 an dengan menghasilkan perbaikan pada kondisi ekonomi Amerika seperti tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan penyebaran pertumbuhan ekonomi relatif merata sementara tingkat inflasi dapat dikendalikan. Masa keemasan tersebut berakhir pada awal tahun 1970 an setelah terjadi penumpukan modal pada segolongan kapitalis, meningkatnya pengangguran dan berbagai permasalahan yang timbul pada anggaran belanja Negara. Dari sinilah kemudian muncul faham neoliberalisme.