Neoliberalisme dan Islam

Oleh Rizqullah

Ditengah tengah hiruk pikuknya perdebatan tentang faham neoliberal dan kerakyatan dalam rangka Pilpres 2009-2014, seorang tokoh ekonomi islam yang sehari-hari biasa dipanggil “Bang Adi”, tiba-tiba muncul dengan tulisannya yang selalu menyegarkan dan menggelitik yaitu tentang Ekonomi Pancasila yang dikaitkan dengan maqasid syariahnya Imam al Syathibi. Tak urung tulisannya tersebut juga menuai berbagai tanggapan positif, negatif atau sinis, setidak-tidaknya dari milis ekonomi-syariah yang rutin saya ikuti. Sayapun tertarik untuk menanggapinya dengan tulisan ini dan sekaligus melanjutkan tulisan saya pada edisi sebelumnya tentang Neoliberalisme dan Islam.


Satu hal yang sering saya katakan dalam berbagai kesempatan adalah bahwa kita sering terjebak dalam pembicaraan yang hanya menyentuh kulit dan sedikit atau tidak utuh menyentuh isi sehingga yang terjadi adalah debat kusir dan membuat persoalan semakin tidak jelas serta membingungkan. Hal inipun terjadi dengan perbincangan tentang faham neoliberal dan kerakyatan karena keduanya saling dipertentangkan, padahal diantara keduanya memiliki berbagai nilai yang sebenarnya dapat saling melengkapi untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, pendekatan yang kita gunakan bukanlah mempertentangkan tetapi mencari titik temu kedua faham tersebut sebagaimana yang sekarang sedang dijual oleh SBY dengan istilah “ekonomi pertengahan” untuk memenangkan kampanye Pilpres saat ini. Perlu diingat bahwa islam adalah agama pertengahan dan ekonomi islam adalah ekonomi keseimbangan, yang notabene artinya adalah pertengahan pula.

Neoliberalisme:

Faham neoliberal bermula dari faham liberal yang dipromosikan oleh Adam Smith dalam bukunya “The Wealth of Nations” pada tahun 1776. Beliau berpendapat bahwa kebebasan dalam produksi dan perdagangan tanpa campur tangan pemerintah merupakan cara terbaik untuk membangun ekonomi suatu Negara. Kebebasan tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak pada kebebasan berusaha dan bersaing bagi pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan finansial sebesar-besarnya. Pada awalnya ekonomi liberal berjalan baik di Amerika antara tahun 1800 an dan awal 1900 an, sampai timbulnya depresi besar (Great Depression) pada tahun 1930 an yang mengakibatkan terjadinya pengangguran secara masif. Adalah John Maynard Keynes yang kemudian mengkritik faham liberal sebagai kebijakan terbaik untuk kapitalis. Keynes mengatakan bahwa untuk menjamin pertumbuhan ekonomi diperlukan lapangan kerja secara penuh (full employment) dan untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah dan bank sentral untuk menstabilkan dan mengoreksi ekonomi pasar yang bebas dalam rangka menciptakan lapangan kerja tersebut. Pemikirannya tersebut diterima oleh Presiden Roosevelt dan mampu memperbaiki kehidupan rakyat Amerika pada waktu itu. Periode campur tangan pemerintah tersebut berlangsung antara 1950 an dan 1960 an dengan menghasilkan perbaikan pada kondisi ekonomi Amerika seperti tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan penyebaran pertumbuhan ekonomi relatif merata sementara tingkat inflasi dapat dikendalikan. Masa keemasan tersebut berakhir pada awal tahun 1970 an setelah terjadi penumpukan modal pada segolongan kapitalis, meningkatnya pengangguran dan berbagai permasalahan yang timbul pada anggaran belanja Negara. Dari sinilah kemudian muncul faham neoliberalisme.