KEPEMIMPINAN NASIONAL DI ERA REFORMASI, Tinjauan bagi Negeri Muslim Indonesia

INDONESIA DI ERA REFORMASI

Era Reformasi harus dibaca beda dengan era Orde Baru agar sikap dan perilaku kita lebih efektif dan efisien, khususnya dalam upaya Pembangunan Bangsa. Pada masa awal Orde Baru kekuasaan politik cenderung represif pada Islam karena dianggap menjadi salah-satu potensi ancaman pada rezim yang sedang berkuasa. Upaya sistematis dilakukan kekuasaan formal untuk menekan gerak sosial-politik umat Islam termasuk pemberian cap ‘ekstrim kanan, subversi, ekstrimis, DI-TII, dsb.’ yang ujung-ujungnya menekan aktifis Islam untuk tidak bisa bergerak maju dalam bidang sosial-politik. Bahkan partai politik yang berasas Islampun secara sistematis dibawa ke arah meninggalkan asas Islamnya, demikian pula dengan ormas Islam sekalipun yang akhirnya merubah asas Islam menjadi asas lain. Apakah dengan cara begitu Negeri Muslim ini lalu menjadi negara maju dan jaya? Ironisnya umat Islam Indonesia tidak berkutik menghadapi tekanan seperti itu dan ikut saja arus gerak politiking yang direkayasa oleh orang lain. Kita perlu introspeksi mampukah kiranya umat Islam Indonesia masih bisa bertahan bila terjadi lagi upaya depolitisasi Islam seperti itu? Dalam sejarah Orde Baru itulah proporsi umat Islam Indonesia terus merosot dari lebih 95% menjadi turun tinggal 86% saja. Sekali lagi justru pada status seperti itu ironisnya banyak tokoh Islam masih berani menepuk dada bahwa mereka berhasil membuat Islam jaya di negerinya.

Babak ke dua Orde Baru bisa ditandai mulai dari berdirinya ICMI tahun 1990 oleh para aktifis Islam khususnya lulusan sekolah umum di dalam maupun di luar negeri. Cendekiawan muslim itu bergerak secara sistematis pula dari lokal ke lokal mengajarkan Islam secara utuh/kaaffah pada generasi muda terpelajar dan masyarakat luas tentang perlunya menggunakan metoda Islam dalam membangun bangsa dan perlunya melibatkan aktifis Islam dalam mengelola negara karena mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim. Mereka menolak tegas isolasi atau peminggiran aktifis Islam dalam proses pembangunan nasional. Islam dan umat Islam pelan-pelan dibawa ke depan oleh aktifis Islam tersebut yang akhirnya secara formal mendirikan ICMI walau dengan tantangan yang besar dan berat dari kelompok sekuler dan musuh Islam. Dari ICMI itulah lalu diakui perlunya mengikut-sertakan aktifis Islam dalam berbagai persoalan bangsa secara makro sehingga orang tidak lagi tabu melihat Islam dalam lingkup sosial-politik. Cendekiawan muslim lalu diasosiasikan dengan kaum terpelajar Islam yang peduli lingkungannya, termasuk lingkungan pemerintahan dan kenegaraan. Melalui ICMI dilakukan konsolidasi umat Islam dari berbagai ormas, orpol, serta birokrasi sehingga nampak benar keakraban diantara mereka dalam membahas keIslaman, keIndonesiaan, dan ke Ilmuan. Sayangnya, masih ada saja tokoh Islam yang menolak ICMI bahkan antipati pada ICMI dengan tuduhan ‘sektarian, primordial, fanatik, dll.’ dan mendirikan forum plural sok demokratis, seperti Forum Demokrasi atau Fordem. Sungguh menyedihkan umat Islam di negeri ini, visinya sudah jungkir balik karena rekayasa musuh-musuh Islam, di mulai oleh penjajah Belanda dengan politik Islamnya sampai ke rezim-rezim sekuler yang memerintah negerinya.
ANALISIS KERUSAKAN IDEOLOGI UMAT ISLAM INDONESIA

Dalam pertarungan ideologi dunia amat disadari bahwa sejak dahulu sampai sekarang selalu terjadi kompetisi antar kelompok, baik secara damai maupun secara kekerasan melalui peperangan. Hal ini jelas sudah merupakan sunnatullah sosial-politik yang tidak bisa dihindarkan. Islam sebagai agama yang juga mengajarkan prinsip sosial-politik jelas memiliki pesaing dengan ideologi lain, yakni ideologi sekuler dengan bentuk-bentuk operasionalnya seperti: kapitalisme, komunisme, sosialisme, dan nasionalisme. Hakekat persaingan ideologi itu amatlah jelas yakni: persaingan metoda dalam mengelola suatu bangsa dan negara melalui kekuasaan formal. Karena kekuasaan itu memiliki potensi memberi keuntungan individu manusia yang sedang berkuasa maka persaingan sosial-politik itu bisa menjadi amat tajam, sampai mempertaruhkan jiwa-raga melalui teror, intimidasi, penghianatan, dan peperangan. Demi kekuasaan pula maka seorang tokoh bisa saja menggunakan segala cara untuk berkuasa sehingga aspek metoda mengelola bangsa-negara sebagai suatu ideologi lalu sering menjadi sekunder, hanya menjadi pelengkap atau instrumen saja dalam upaya proses untuk merebut kekuasaan atau mempertahankan kekuasaannya. Akibat dari perilaku seperti ini jelas sewaktu si tokoh berkuasa maka nasib rakyat menjadi semakin rusak karena dieksploitasi oleh penguasa yang ingin terus mempertahankan dan menikmati kekuasaannya. Di sinilah penjelasan mengapa ‘kekuasaan’ itu dikatakan cenderung ‘korup’.

Persaingan antara Islam politik dan ideologi lain di dunia intinya justru terletak pada metoda pengelolaan negara, apakah menurut ajaran sosial-kenegaraan al Qur’an dan Sunnah Nabi atau menurut kehendak bebas pikiran manusia belaka. Pertarungan ideologi Islam dengan kapitalisme, nasionalisme, komunisme dan lain-lain-isme itu hakekatnya adalah pertarungan apakah ‘mau atau tidak’ menggunakan prinsip syar’i untuk mengatur bangsa dan negara. Di sinilah sebenarnya hakekat pertarungan itu, yakni pertarungan antara Manusia penganut Islam (Kaffah) dengan Manusia Sekuler (di dalam manusia sekuler ada orang Islam nya juga namun bervisi non-Islam dalam masalah sosial politik). Oleh sebab itu begitu manusia muslim menjadi sekuler, yakni menganggap Islam tidak mengajarkan sistem sosial-kenegaraan maka sesungguhnya manusia itu sudah menjadi budak ideologi diluar Islam alias kafir secara ideologis. Bila sudah kafir secara ideologis dia bisa saja memilih menjadi penganut kapitalisme, nasionalisme, komunisme, sosialisme, dll yang pada hakekatnya hanyalah sebagai varians ideologi sekuler tersebut. Sayangnya, sungguh amat banyak orang Islam Indonesia, termasuk tokoh-tokohnya, yang telah menjadi manusia sekuler, membuang tuntunan sosial-politik dari Allah swt.

Persaingan ideologis skala dunia seperti diuraikan itu menjadi semakin tajam tatkala umat Islam dunia menjadi menyadari beratnya kerusakan dunia akibat diberlakukannya metoda sekuler dalam mengelola wilayah-negara. Sebagian umat Islam kemudian melakukan konsolidasi tahap demi tahap dan akhirnya di sana-sini berhasillah melakukan perlawanan terhadap ideologi sekuler dan memenangkan persaingan berat itu. Lahirnya Iran baru, Nigeria, Afganistan, Libya, dan bertahannya beberapa pemerintahan Islam di wilayah Timur Tengah jelas merupakan bentuk-bentuk kemenangan ideologi Islam terhadap ideologi sekuler. Rekayasa politik penganut faham sekularisme yang pada dasarnya dimotori negara Barat yang mayoritas penduduknya pemeluk Kristen jelas menjadi semakin menggebu. Sasaran utama mereka dalam memenangkan pertarungan ideologis itu tentu negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti Indonesia. Mereka dengan segala macam bentuk tipu-muslihat sosial-politik berupaya agar negara mayoritas penduduk muslim itu tidak jatuh ke tangan pemeluk Islam yang benar (Islam kaffah, bukan pemeluk Islam sekuler). Strategi mereka sesungguhnya mudah dibaca, yakni: membelokkan faham keIslaman kaum muslimin untuk menjadi faham Islam sekuler, yakni Islam yang hanya berdimensi pribadi-ritual-spiritual. Sasaran atau target operasi mereka juga terarah, yakni sentra-sentra pengajaran Islam di negeri muslim. Strategi itu sesungguhnya tidak sulit untuk dikenali asal umat Islam sedikit saja mau berfikir jernih. Oleh target propaganda seperti itu (dengan modal dana yang besar pula) maka tidak perlu diherankan jika tokoh Islam Sekuler yang lahir di negeri ini banyak yang jebolan Lembaga Pendidikan Islam. Sudah cukupkah pertahanan Lembaga Pendidikan Islam, Negeri maupun Swasta, di Indonesia oleh serangan frontal sekularisme Barat terhadap ideologi Islam bagi anak didik mereka? Ini jelas tantangan bagi lembaga pendidikan Islam itu.

Salah satu strategi andalan Barat dalam mensekularkan pikiran orang Islam atau tokoh Islam adalah melalui propaganda jargon. ‘Fight Radical Islam with Words, not Election’ adalah salah satu strategi dasar perang ideologi yang dicanangkan mereka. Maka berhamburanlah istilah-istilah baru di dunia kaum muslimin, termasuk di Indonesia seperti: primordial, sektarian, skriptualis, fundamentalis, radikal, dll. Pada sisi lain mereka juga melempar istilah-istilah bernada simpatik seperti: plural, moderat, jalan tengah, toleransi, teologi pembebasan, teologi pluralisme, kontekstual, substansialis, universalisme, dll. Siapakah yang termakan jargon-jargon seperti itu? Mereka menjadi lupa dan meninggalkan ajaran sosial-politik yang diajarkan oleh agamanya sendiri, bahkan lupa memasyarakatkan istilah dan simbul Islam..
KEPEMIMPINAN INDONESIA DI ERA REFORMASI

Era reformasi jelas sebagai era persaingan ideologi secara sehat dan elegan, tanpa represi kekuasaan dan militer. Dalam era ini rakyat bebas berkumpul, berserikat, dan menyampaikan aspirasinya dalam bidang sosial-politik, tidak takut ditangkap, diteror, diintimidasi oleh kekuasaan politik dan militer. Dalam era seperti ini Kepemimpinan Islam (figur yang menjadi Pemimpin Organisasi Islam, khususnya PARTAI POLITIK ISLAM yang memang berjuang di front kekuasaan) harus dipegang oleh tokoh yang berani secara tegas menyatakan bahwa dia ingin mengelola negeri ini dengan cara atau metoda Islami demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Tokoh tersebut harus memiliki wawasan sosial-kenegaraan Islam sesuai dengan ajaran al Qur’an dan Sunnah Nabi. Dia harus mampu menerjemahkan Syari’at Islam terkait kehidupan Sosial-kenegaraan (tanpa sikap ‘taqiyah’ atau menutup-nutupii predikat Islamnya), seperti: pola ketata-negaraan yang diajarkan agama Islam, pembangunan ekonomi nasional Islami, pertahanan-keamanan Islami, budaya nasional luhur-bermoral sesuai tuntunan Islam, pendidikan nasional Islami, dan hukum positif yamg dipandu ajaran Islam. Visi tegas seperti itu harus disosialisasikan secara intensif di dalam kalangan umat Islam agar memperoleh dukungan nyata dalam proses persaingan terbuka, khususnya saat pemilu dan pilkada. Umat Islam harus intensif dididik (diberi pelajaran, ceramah, pengajian, dakwah, fatwa) supaya memihak-memilih Partai Islam dan Pemimpin yang Pro Syariat. Tentu saja Pemimpin ideal di era ini juga harus berakhlaq mengikuti prinsip “asyiddaa’u ‘alal kuffari, rukhamaa’u baunahum”, yakni pemimpin yang lemah-lembut, santun, peduli pada penderitaan rakyat, penuh perhatian, bersikap ramah (tidak arogan dan jadi sok karena dipilih sebagai pemimpin), dan hidupnya sederhana walau dia sedang memiliki harta banyak (dari rizki yang halal).
DARI KEPEMIMPINAN BAGI KELOMPOK ISLAM MENUJU KEPEMIMPINAN NASIONAL

Ditinjau dari sisi lingkup bangsa-negara yang plural (semua bangsa-negara pada hakekatnya plural) maka di Indonesia ini dikenal ada tiga macam tipe Pemimpin yang kini sedang bersaing ketat memperebutkan posisi. Dengan meminjam kosa kata MUSLIM, NASIONALIS, DAN SEKULER maka dapat dibedakan adanya tiga kategori pemimpin Indonesia, yakni: 1). Nasionalis Sekuler; 2). Muslim Sekuler; dan 3). Muslim Nasionalis. Untuk memberi penjelasan atas adanya ke tiga kelompok itu maka perlu diberikan definisi operasional sebagai berikut: Nasionalis Sekuler tidaklah memandang aspek apapun dari agama dalam upayanya mengelola Indonesia, mereka murni mencari konsep pembangunan dari teori yang dikembangkan manusia seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, sinkretisme, dll. Muslim Sekuler masih memiliki kepedulian pada Islam di Indonesia namun hanya sisi ritual-spiritualnya belaka, sedang pada sisi sosial-kenegaraan mereka membuang tuntunan Islam dan mengambil teori pembangunan yang direka manusia, sehingga tidak banyak beda dengan kelompok nasionalis sekuler dalam proses pengelolaan bangsa-negara. Sedang Muslim Nasionalis adalah mereka yang cinta Indonesia, ingin membesarkan Indonesia, ingin membebaskan Indonesia dari semua krisis sosialnya dengan metoda sosial-kenegaraan Islam yang diajarkan oleh al Qur’an dan Sunnah Nabi.

Kalau dilihat dari sisi sejarah Indonesia, selama ini pemerintahan RI sudah pernah dipegang oleh golongan nasionalis sekuler dan muslim sekuler, namun belum pernah dipegang oleh muslim nasionalis (perhatikan definisi operasional sebelumnya). Secara syar’i jelas negeri ini seharusnya dipimpin oleh kelompok muslim nasionalis agar bisa menjadi bangsa dan negara yang maju dan besar mengingat mayoritas penduduk Indonesia itu muslim (Negeri Muslim). Sayangnya kualitas umat Islam Indonesia masih lemah (karena salah ‘pengajaran keislamannya’), khususnya di sisi aqidah, sehingga umat pada umumnya membiarkan dan bahkan mendukung tokoh nasionalis sekuler dan muslim sekuler untuk memegang kendali pemerintahan dan tidak mau memilih tokoh muslim nasionalis sebagai pemimpin negara. Pada era reformasi inilah kesempatan persaingan sehat dan jujur sedang terbuka lebar, dan insyaAllah semua komponen umat sudah menyadari kekeliruan mereka dalam memilih pemimpin nasionalnya selama ini. Ormas Islam, Parpol Islam, sentra pendidikan Islam seperti Pondok-Pesantren dan Perguruan Tinggi Islam perlu bekerja bahu-membahu mendukung Partai Islam dan Tokoh yang berani menegakkan syari’at Islam dalam bidang sosial-kenegaraan (muslim nasionalis) menjadi pemimpin bangsa-negara demi kejayaan umat dan bangsa Indonesia.

Bagaimana ‘bench mark’ kepemimpinan ideal untuk negeri ini agar negeri segera menjadi negeri yang maju-adil-makmur-aman-sejahtera? Dilihat dari kepentingan negeri yang memiliki ciri utama: mayoritas penduduknya muslim, bekas dijajah ratusan tahun, dan relatif lemah kualitas pendidikan penduduknya namun kaya raya sumber daya alamnya, maka seharusnya pemimpin yang diperlukan adalah oarng yang memiliki karakter: ibadah mahdhanya tertib, akhlak kesehariannya bagus (jujur, amanah, shaddiq, ikhlas, sederhana), bervisi memihak kepentingan penduduk dengan status sosial lemah khususnya mereka yang mustadhafiin, memiliki misi memberantas kemaksiatan- kemungkaran- kedholiman- kesesatan aqidah umat, dan teguh berjuang membawa misi kebenaran agama. Target utama Pemerintahan oleh Pemimpin tersebut akan menjadi utuh, yakni: KOKOHNYA KEDAULATAN NEGARA, KELUHURAN AKHLAK BANGSA, PENINGKATAN KEMAKMURAN RAKYAT, LINGKUNGAN SEHAT, DAN TERJAMINNYA KETERTIBAN-KEADILAN. Benarkah mereka yang sudah terpilih itu (eksekutif-legislatif) telah memiliki kualitas pemimpin ideal untuk bangsa ini? Semoga Allah SWT memberikan kemudahan dalam langkah-langkah umat Islam Indonesia ke depan nanti.

CATATAN TENTANG MAKNA TAHUN BARU HIJRIAH (Islam untuk Siapa?)

Banyak kejadian dalam sejarah perjalanan hidup Rasulullah yang lalu diperingati oleh umatnya. Memperingati kejadian-kejadian itu tentu tidak dimaksud untuk memberi hari/kesempatan buat umat berpesta-ria, menghamburkan harta mengumbar kesenangan duniawi, bahkan dalam merayakan Iedul Fithrie-Iedul Adha pun ada makna yang lebih bermanfaat bagi kehidupan umat.

Peringatan hari besar Islam seharusnya memang untuk merenungkan dan lebih memahami nilai esensi kejadian dalam sejarah Nabi agar bisa menjadi pelajaran dan diikuti oleh kaum muslimin. Kejadian awal turunnya al Qur’an (Nuzulul Qur’an) misalnya tentu mengingatkan umat untuk selalu hidup sesuai dengan isi kandungannya. Peristiwa Isra’-mi’raj untuk menyadarkan manusia bahwa dunia ini tidak hanya berdimensi sahadah (empiris) tapi juga berdimensi ghoib (non-empiris) sehingga kita juga harus menyiapkan diri untuk hidup di kedua alam itu sejalan dengan ajaran Islam.

Nah, bagaimana makna esensial tentang peristiwa 1 Muharam, peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Mekah ke Madinah? Mengapa pula justru kejadian itu yang dipakai sebagai penanda adanya tahun baru Islam, bukan hari lahir atau wafatnya nabi, atau saat-saat nabi diboikot secara sosial-ekonomi oleh musuh Islam sampai harus makan dari dedaunan, atau perjalanan nabi ke Thoif di mana beliau dihinakan dan disakiti secara fisik sampai berdarah-darah oleh kaum kafir di sana?

Mari kini kita simak bersama mengapa peristiwa hijrahnya Nabi tersebut dinilai begitu luar biasa sehingga dijadikan penanda tahun baru Islam. Apa gerangan dampak besar yang terjadi oleh peristiwa itu?

Ternyata jawabnya amat jelas: “Hijrahnya Nabi itulah yang menjadi awal Perubahan Sosial-Politik besar dalam kehidupan masyarakat”. Sebelum peristiwa hijrah, Nabi baru mengajar manusia tentang bagaimana agama Islam menuntun dalam permasalahan kehidupan spiritual-ritual-akhlak pribadi. Setelah hijrah, Nabi mengajar manusia tentang bagaimana tuntunan agama Islam itu mengelola masyarakat sebagai suatu satuan bangsa-negara.

Ternyata perbedaan dalam skala mengajarkan dan mempraktekkan ajaran Islam tersebut berdampak maha besar! Dampak perluasan praktek pengetrapan tuntunan agama Islam di atas amatlah nyata, baik kuantittatif maupun kualitatif. Sebelum hijrah, praktek tuntunan Islam hanya berdimensi spritual-ritual-akhlak selama 13 tahun diajarkan oleh nabi di Mekah, nabi hanya berhasil menyelamatkan sekitar 300 orang saja dari kepercayaan kafir ke kesadaran Islam, sedangkan kondisi sosial kemasyarakatan di sana tetap rusak, penuh dengan eksploitasi ekonomi, pelecehan bahkan perkosaan terhadap wanita merajalela, perbudakan manusia amat luar biasa, begitu pula kekerasan dan kejahatan pada bayi-anak, kriminalitas dan korupsi terjadi di mana-mana, pertengkaran fisik dan perang antar suku berlangsung tiada putus-putusnya. Setelah hijrah, di mana nabi lalu memberi keteladanan bagaimana mengelola sebuah bangsa-negara dengan cara yang diajarkan Allah swt, apa yang terjadi? Perlu diingat bahwa nabi Muhammad saw hanya 10 tahun dalam memimpin negara Madinah, apa dampaknya? Dakwah Islam ternayata berhasil menyelamatkan kepercayaan manusia dari kepercayaan musyrik ke keimanan yang mengesakan tuhan sesuai Islam pada hampir seluruh penduduk di jasirah Arab. Islam menyebar dengan cepat di seluruh wilayah itu bahkan juga menjangkau di benua lain. Masyarakat yang berada dalam naungan kekuasaan negara Madinah yang dipimpin Rasulullah (mereka itu masyarakat yang plural, banyak yang non-muslim seperti yahudi, nasrani, dam lain-lain) berada dalam kondisi aman-makmur-sejahtera sebagaimana yang di cita-citakan umat manusia pada umumnya, seperti: kejahatan amat minimal, korupsi berhasil dibabat habis, kohesitas masyarakat amat kuat, saling tolong menolong, saling akrab-rukun-bersaudara satu sama lain, tidak ada lagi pertikaian sosial yang berarti apalagi bentuk perang antar suku dan kelompok sosial, pendidikan penduduk meningkat tajam, ekonomi penduduk terangkat secara merata, lingkungan hidup biofosik dan sosial amat baik, semua orang bisa hidup layak terhindar kemiskinan struktural dan ketimpangan ekonomi yang ekstrim, masyarakat secara ekonomi menjadi amat harmonis karena tidak ada pameran kekayaan- kemewahan di tengah kemiskinan, dan secara politis mereka di bawah birokrasi negara yang berisi figur-figur manusia yang beriman-bertaqwa secara benar dan nyata.

Demikianlah gambaran ringkas perubahan yang terjadi antara kondisi sebelum dan setelah nabi hijrah dari Mekah ke Madinah. Peristiwa hijrah itu ternyata membawa perubahan besar, bahkan amat besar, bukan hanya skala individu namun skala sosial kemasyarakatan secara luas. Kondisi politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya, lingkungan, keamanan-ketertiban masyarakat berubah drastis ke arah tatanan dunia sosial baru yang membebaskan manusia dan masyarajat dari eksploitasi ekonomi, korupsi, kriminalitas, pathologi sosial, penjajahan, dan konflik fisik. Kondisi semacam itu sebenarnya yang kini sering diimpikan orang dan populer disebut sebagai negeri aman-makmur-sejahtera. Madinah yang sebelumnya adalah wilayah yang tidak dikenal dan tidak ada apa-apanya menjadi wilayah yang berkembang sebagai negeri adidaya yang Islami, mengganti kekaisaran Romawi dan Persia yang non_Islami. Dengan bukti seperti itu bukankah lalu peristiwa hijrahnya nabi tersebut menjadi amat layak untuk dijadikan penanda awal tahun baru Islam?

Kesimpulannya: Islam itu mengajari manusia untuk mengelola bukan hanya masalah pribadi seperti cara berfilsafat dan berfifikr, cara berritual seperti sembahyang menyembah tuhan, cara berkeluarga seperti hubungan suami-sistri dan orangtua-anak, namun Islam juga memberi tuntunan bagaimana MENGELOLA BANGSA-NEGARA agar negeri menjadi maju dan jaya, menyelamatkan masyarakat dari dekadensi di semua bidang kehidupan manusia, poleksosbudhankamling.

Mengapa umat Islam masih saja menganggap Islam hanya sekedar ajaran spiritual-ritual? Siapa yang rugi oleh pikiran sempit tentang Islam seperti itu? Siapa yang diuntungkan jika umat berfikiran Islam sekedar spiritual-ritual belaka?

Itulah makna esensial hijrahnya Rasulullah yang umat Islam tentunya wajib meneladaninya.

Indonesia, 1 Muharram 1431 H