Peran Ilmu Dalam Kehidupan Sehari-hari

Bumi tanpa cahaya matahari akan hampa dan kehidupan akan binasa. Begitulah ibarat hati manusia, tanpa cahaya ilmu hati akan sakit dan mati. Di dalam hati seorang yang sakit, terdapat dua kecintaan dan dua penyeru. Kecintaan terhadap syahwat-syahwat, mengutamakannya dan semangat untuk melampiaskannya. Terdapat hasad, sombong, bangga diri, suka popularitas dan suka membuat kerusakan di muka bumi dengan kekuasaannya.
Dia akan diuji di antara dua penyeru kepada Allah dan Rosul-Nya serta negeri akhirat dan penyeru kepada kenikmatan dunia yang fana. Maka dia akan menjawab seruan itu mana yang paling dekat dengannya.
Seorang yang hatinya mati, dia tidak tahu tentang Rabb-nya, tidak menyembah-Nya, tidak mencintai apa yang dicintai-Nya dan tidak mencari Ridlo-Nya. Tetapi dia hanya menurti ambisi syahwat walaupun di sana akan mendatangkan kemarahan Rabb-Nya. Dia tidak peduli apakah Rabb-Nya ridlo atau murka yang penting dia telah melampiaskan syahwat dan keinginannya.
Rasa cinta, takut, pengharapan, keridloan, kemarahan, pengagungan, dan kerendahan dirinya diperuntukkan kepada selain Allah. Jika cinta, benci, memberi dan tidak memberi karena hawa nafsunya. Hawa nafsunyalah yang paling dia utamakan dan paling dia cintai dibanding keriloan maulanya (Allah Ta’ala). Maka jadilah hawa nafsu sebagai pimpinannya, syahwat sebagai penuntunnya, kebodohan sebagai pengemudinya dan lalai sebagai kendaraannya.
Sebagai hati yang disinari oleh cahaya ilmu dan disirami sejuknya ilmu, penyakit-penyakit yang berkarat di dalam hati akan terkikis dan sirna, jadilah hati tersebut bersih, sehat dan selamat.
Hati yang selamat adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang selalu menyelisihi perintah dan larangan Allah, selamat dari setiap syubhat (bid’ah) yang merancukan wawasannya, selamat dari kesyirikan dan selamat dari berhukum kepada selain Rosul-Nya.
Dia selalu mengutamakan keridhoan-keridhoan Rabb-Nya dengan segala cara. Rasa cinta, tawakal, taubat, takut, pengharapan dan amalannya ikhlas hanya untuk Allah. Jika dia cinta, memberi dan tidak semuanya karena Allah Ta’ala. Seorang yang mempunyai hati inilah yang selamat pada hari kiamat.
Allah berfirman : “Pada hari yang tidak bermanfaat harta tidak pla anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat” (Q.S Asy-Syu’ara : 88 – 89). (lihat Kitab Mawaridul Aman Al-Muntaqo min Ighotsatil Lahafan fi Mashoyidis Syaithon karya Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziah dengan tulisan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Hal 33 – 37).
Demikian keadaan hati yang tidak disinari dan hati yang selalu disinari dan disirami cahaya ilmu. Jelaslah bahwa ilmu itu sebagai obat penyakit yang ada pada dada manusia. Allah Ta’ala berfirman : “Wahai manusia sesungguhnya telah datang kepada kalian, pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Q.S. Yunus : 57).
“Maka Mauidlah (pelajaran/ilmu) sebagai obat dari kebodohan dan penyelewengan hati. Sesungguhnya kebodohan itu adalah penyakit, obatnya adalah bimibngan’. Demikian penafsiran al Allamah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah Rahimahullah (lihat Kitab Mawarid hal 45).
Dengan ini wajib hukumnya bagi setiap muslim laki-laki atau perempuan, budak maupun orang merdeka untuk menuntut ilmu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, “Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan dihasankan oleh Imam Al-Mizzy).
Kemudian apa sebetulnya yang dimaksud engan ilmu yang disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits tentang keutamaan dan kedudukan orang yang mengilmuinya ? Al Imam Ibnu Hajar Al-Atsqolani rahimahullah menafsirkan ayt yang dibawaka oleh Al-Imam Bukhori dalam shohihnya “Bab Keutamaan Ilmu” : “Katakanlah (wahai Muhammad) Ya Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu” (QS Thoha : 114)
Beliau (Ibnu Hajar) berkata : “Ini dalil yang sangat jelas tentang keutamaan ilmu, karena Allah tidak pernah menyuruh Nabi-Nya Shalallahu’alaihi wasallam untuk meminta tambhan kecuali tambahan ilmu. Maksud ilmu tersebut adalah ilmu syar’I, yang berfaedah memberi pengetahuan apa yang wajib atas setiap mukallaf (muslim dan muslimah yang baligh) tentang perkara agama,ibadah dan muamalahnya. Ilmu mempelajari tentang Allah dan sifat-sifatnya dan apa yang wajib dia lakukan dari perintah-Nya serta mensucikannya dari sifat-sifatnya dan apa yang tercela. Poros dari semua itu adalah ilmu tafsir, ilmu Hadits dan ilmu Fiqh” (lihat Kitab Fathul Baari Syarah Shohih Bukhari 1/40).
Maka ilmu yang wajib kita pelajari adalah ilmu yang mempelajari tentang Allah, Rasul-Nya, Agama-Nya dengan dalil-dalil (lihat kitab Al-Ushuluts Tsalatsah karya Syaikhul Islam Muhammad Bin Abdul Wahab bin Sulaiman Bin Ali At-Tamimi Rahimahullah hal 1-3).
Belajar ilmu yang dimaksud di atas, harus bersumber dari Al-Quran dan Hadits sesuai dengan pemahaman Salaf (para Sahabat Nabi Shalallahu’alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik). Sebagian Ahlul ilmu (para ulama) sepakat : “ilmu adalah firman Allah dan sabda Rasul-Nya serta perkataan para sahabat tiada keraguan padanya”(lihat Bahjatunnadlirin syarah Riyadlusshalihin karya Syaikh Salim Bin ‘Ied Al-Hilali Juz 2 Hal 462).
Al-Imam Al-Auza’I berkata “Ilmu adalah apa yang datang dari sahabat-sahabat Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam dan sesuatu yang tidak datang dari mereka, maka itu bukan ilmu.”(dikeluarkan oleh Ibnu Abdilbar dalam kitab Al-Jaami’ 2/29)
Al-Imam Abu Muhammad Al-Barbahari rahimahullah menyatakan, "Bahwa al-haq (kebenaran) adalah apa yang datang dari sisi Allah Azza wa Jalla, as-sunnah : sunnah (hadits) Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam dan Al-Jama'ah : kesepakatan (ijma') para sahabat-sahabat shalallahu'alaihi wasallam pada khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman." (Syarhus Sunnah hal 105 No. 105).

Kesimpulan
Tuntutlah ilmu, maka sesungguhnya ilmu sebagai obat dari kebodohan dan penyelewengan hati. Bersemangatlah, carilah dari ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berpedoman kepada Al-Quran dan Al-Hadits dengan pemahaman salaf (para sahabat Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik). Dan hati-hatilah dari ahlul bid'ah yang memakai ro'yu (pikiran), qiyas (yang bathil), perasaan dan ta'wil dalam memahami/menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadits (lihat Syarhus Sunnah dan muqodimah kitab shohih muslim).
Sebagaimana himbauan seorang ulama dari kalangan Tabi'in Muhammad bin Sirrin rahimahullah : "Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian."(diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqodimah Kitab Shohihnya 1/14). Wallahu Ta'ala A'lam.

Tidak Ada Persaudaraan antara Islam dengan Non Islam

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad yang tidak ada nabi setelahnya.

Telah terbit sebuah berita pada lembaran Ukadz No 3031 tanggal 27/8/1394 H,berkaitan dengan pelaksanaan sholat Jum'at di Masjid Qurthubah, disebutkan padanya bahwa perayaan tersebut dilakukan setelah mendapat persetujuan untuk membentuk jalinan persaudaraan dan kasih sayang antara anak-anak dua agama yaitu Islam dan Masehi (Nasrani) .

Sebagaimana pula disebutkan dalam lembaran Ahkbar ‘Alam Islamy no 395 yang terbit tanggal 29/8/1394 H, sebagai berikut "Tidak ragu lagi bahwa amalan ini merupakan wujud keluwesan Islam dan bahwa agama itu satu”, menunjukan bahwa tidak ada persaudaraan dan kecintaan antara Islam dan kafir, akan tetapi kecintaan dan persaudaraan itu hanya ada antara muslimin itu sendiri, dan juga tidak ada persatuan antara Agama Islam dan Nasrani.

Sebab agama Islam adalah agama yang benar yang wajib bagi segenap penduduk bumi yang mukalaf untuk mengikutinya. Adapun agama Nasrani adalah agama kufur dan kesesatan berdasarkan nash Alqur'an. Diantara dalil tersebut adalah Firman Allah ta'ala "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu" (Al Hujurat:10)

Dan juga firman-Nya "Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja" (Al Mumtahanah :4)

Dan firman-Nya "Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (Al Mujadalah :22)

Dalam surat At Taubah "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain." (At Taubah : 71) dan Firman-Nya "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.:” (Al Maidah:51)

Dan firman-Nya dalam surat Ali Imran "Sesungguhnya agama yang (diterima) di sisi Allah adalah Islam) "(Ali Imran :19) dan "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi" (Ali Imran : 85)

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam". (Al Maidah :72) dan "Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa" (Al Maidah :73) dan firman-Nya :"Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?, Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat." (Al Kahfi 103-105).

Adapun sabda Nabi Shallahllahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan Muslim "Seorang muslim itu saudara terhadap muslim lainnya maka tidak boleh mendzaliminya, merendahkannya dan tidak juga menghinakan dan mendustakannya" Dalam ayat-ayat dan hadits ini menunjukan dalil yang jelas bahwa persaudaraan dan kasih sayang hanya terjadi diantara orang mukmin sendiri.

Adapun terhadap kaum kuffar maka wajib untuk membenci dan memusuhi mereka karena Allah, dan diharamkan menjadikan pelindung dan penolong bagi mereka sampai mereka beriman kepada Allah saja dan mereka meninggalkan kekafiran dan kesesatannya, sebagaimana ditunjukan di ayat terakhir bahwa agama yang benar adalah Islam yang dengan agama itu Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dan demikian juga para rasul yang lainnya, dan ini adalah makna sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam "Kami para nabi, agama kami satu“ (HR. Bukhari).

Adapun agama-agama yang lainya baik itu Yahudi, Nashrani, atau yang lainya, semuanya adalah bathil tidak ada sedikitpun kebenaran di dalamnya. Dan sungguh telah datang syariat nabi kita yang sempurna, tidak ada yang lebih sempurna darinya, karena merupakan syariat yang mencakup seluruh penduduk bumi, adapun yang selainnya maka syariatnya bersifat khusus dan telah dihapus dengan syariat Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam yang merupakan sesempurna-sempurnanya dan menyeluruhnya syariat, dan paling bermanfaat bagi seorang hamba bagi kehidupan dunia ataupun akhiratnya, sebagaimana firman Allah ta'la menceritakan kepada Nabi-Nya "Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang." (Al Maidah :48)

Allah telah mewajibkan bagi segenap pribadi mukallaf di seluruh penduduk bumi untuk mengikuti agama ini dan berpegang teguh dengannya sebagaimana firman-Nya "Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al A'raf : 157)

Kemudian Allah berfirman setelahnya "Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang umi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk". (Al A'raf :158)

Dan Allah mendiadakan keimanan terhadap orang yang tidak berhukum kepadanya "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (Al Nisa :65)

Kemudian Allah menghukumi kafir dan syiriknya Yahudi dan Nasrani karena mereka menisbatkan adanya anak bagi Allah Subhanah, serta mereka menjadikan pendeta-pendetanya sebagai tuhan-tuhan selain Allah Azza wa Jalla dengan firman-Nya dalam surat At Taubah : "Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (At Taubah : 30-33)

Kalau seandainya dikatakan bahwa perayaan ini dipandang sebagai perwujudan hubungan kerjasama antara dua agama dalam hal-hal yang memberikan manfaat bagi keduanya, niscaya hal itu adalah hal yang diutamakan (dalam islam) dan tidak larangan padanya. Maka wajib untuk saling memberikan nasihat bagi Allah, hamba-hamba-Nya, dan saya memandang perlu utnuk diberikan perhatian dalam masalah ini karena perkaranya sangat besar yang terkandang mengacaukan segenap manusia.

Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada kami dan kepada segenap muslimin untuk selalu dapat menjalin ukhuwah yang jujur dalam agama Allah, saling berkasih sayang padanya dan karena-Nya. Dan mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada segenap manusia untuk masuk ke dalam agama Allah yang dengan agama ini Allah mengutus NAbi Muhammad shallallahu 'alahi wasallam, berpegang teguh dengan agama ini serta berhukum dengan nabinya, dan menolak segala perkara yang menyelisihinya, karena dengan sebab itu akan mendatangkan kebahagiaan yang abadi dan keselamatan di dunia dan akhirat, sebagaimana pula dalam syariat ini bisa menuntaskan segala problema baik di masa sekarnag maupun akan datang, seseungguhnya Allah Maha Penderma lagi Maha Mulia, shalawat dan salam semoga tercurah atas Hamba dan Utusan-Nya Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Iman bisa meningkat dan bisa turun...

Ketahuilah, iman yang ada di dalam diri seorang hamba itu bisa bertambah dan bisa pula berkurang atau bahkan hilang tanpa bekas dari diri seseorang. Al-Imam Abdurrahman bin Amr Al-Auza'i rahimahullah pernah ditanya tentang keimanan, apakah bisa bertambah. Beliau menjawab: "Betul (bertambah), sampai seperti gunung." Lalu beliau ditanya lagi: "Apakah bisa berkurang?" Beliau menjawab: "Ya, sampai tidak tersisa sedikitpun."

Demikian pula Imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Ahmad bin Hambal rahimahullah pernah ditanya tentang keimanan, apakah bisa bertambah dan berkurang? Beliau menjawab: "Iman bertambah sampai puncak langit yang tujuh dan berkurang sampai kerak bumi yang tujuh." Beliau juga menyatakan: "Iman itu (terdiri atas) ucapan dan amalan, bisa bertambah dan berkurang. Apabila engkau mengamalkan kebajikan, maka iman akan bertambah, dan apabila engkau menyia-nyiakannya, maka iman pun akan berkurang."

Nah, inilah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu, yakni meyakini bahwa sesungguhnya iman seseorang itu bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Setelah kita tahu bahwa ternyata iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang, lalu apa yang harus dilakukan oleh seorang mukmin untuk menjaga kualitas imannya? Al Imam Allamah Abdurrahman bin Nashr As Sa'di rahimahullah mengatakan: "Seorang mukmin yang diberi taufiq oleh Allah Ta'ala, dia senantiasa berusaha melakukan dua hal: Pertama, memurnikan keimanan dan cabang-cabangnya, dengan cara mengilmui dan mengamalkannya. Kedua, berusaha untuk menolak atau membentengi diri dari bentuk-bentuk ujian (cobaan) yang tampak maupun tersembunyi yang dapat menafikannya (menghilangkannya), membatalkannya atau mengikis keimanannya itu." (At Taudhih wal Bayan lisy Syajarotil Iman, hal 38).

Saudaraku muslimin, ketahuilah! Ada beberapa amalan yang insya Allah akan dapat menyebabkan bertambahnya iman seseorang, di antaranya adalah:

Pertama: Membaca dan tadabbur (merenungkan atau memikirkan isi kandungan) Al Quranul Karim. Orang yang membaca, mentadabburi dan memperhatikan isi kandungan Al Quran akan mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang menjadikan imannya kuat dan bertambah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang orang-orang mukmin yang berbuat demikian: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati-hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah iman bereka, dan kepada Rabb mereka itulah mereka bertawakkal." (QS. Al Anfal [8]: 2)

Al Imam Al Ajurri rahimahullah berkata: "Barangsiapa mentadabburi Al Quran, dia akan mengenal Rabb-nya Azza wa Jalla dan mengetahui keagungan, kekuasaan dan qudrah-Nya serta ibadah yang diwajibkan atasnya. Maka dia senantiasa melakukan setiap kewajiban dan menjauhi segala sesuatu yang tidak disukai maulanya (yakni Allah Ta'ala)."

Kedua: Mengenal Al Asmaul Husna dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan kesempurnaan Allah secara mutlak dari berbagai segi. Bila seorang hamba mengenal Rabbnya dengan pengetahuan yang hakiki, kemudian selamat dari jalan orang-orang yang menyimpang, sungguh ia telah diberi taufiq dalam mendapatkan tambahan iman. Karena seorang hamba bila mengenal Allah dengan jalan yang benar, dia termasuk orang yang paling kuat imannya dan ketaatannya, kuat takutnya dan muroqobahnya kepada Allah Ta'ala.

Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya adalah ulama." (QS. Fathir [35]: 28). Al Imam Ibnu Katsir menjelaskan: "Sesungguhnya hamba yang benar-benar takut kepada Allah adalah ulama yang mengenal Allah." (Tafsir Ibnu Katsir 3/533).

Ketiga: Memperhatikan siroh atau perjalanan hidup Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni dengan mengamati, memperhatikan dan mempelajari siroh beliau dan sifat-sifatnya yang baik serta perangainya yang mulia.

Al Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan: "Dari sini kalian mengetahui sangat pentingnya hamba untuk mengenal Rasul dan apa yang dibawanya, dan membenarkan pada apa yang beliau kabarkan serta mentaati apa yang beliau perintahkan. Karena tidak ada jalan kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan di akhirat kecuali dengan tuntunannya. Tidak ada jalan untuk mengetahui baik dan buruk secara mendetail kecuali darinya.Maka kalau seseorang memperhatikan sifat dan akhlak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Al Quran dan Al Hadits, niscaya dia akan mendapatkan manfaat dengannya, yakni ketaatannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi kuat, dan bertambah cintanya kepada beliau. Itu adalah tanda bertambahnya keimanan yang mewariskan mutaba'ah dan amalan sholih."

Keempat: Mempraktekkan (mengamalkan) kebaikan-kebaikan agama Islam. Ketahuilah, sesungguhnya ajaran Islam itu semuanya baik, paling benar aqidahnya, paling terpuji akhlaknya, paling adil hukum-hukumnya. Dari pandangan inilah Allah menghiasi keimanan di hati seorang hamba dan membuatnya cinta kepada keimanan, sebagaimana Allah memenuhi cinta-Nya kepada pilihan-Nya, yakni Nabiyullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat QS. Al Hujurat [49]: 7)

Maka iman di hati seorang hamba adalah sesuatu yang sangat dicintai dan yang paling indah. Oleh karena itu seorang hamba akan merasakan manisnya iman yang ada di hatinya, sehingga dia akan menghiasi hatinya dengan pokok-pokok dan hakikat-hakikat keimanan, dan menghiasi anggota badannya dengan amal-amal nyata (amal sholih). (At Taudhih wal Bayan, hal 32-33)

Kelima: Membaca siroh atau perjalanan hidup Salafush Shalih. Yang dimaksud Salafush Shalih di sini adalah para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orangyang mengikuti mereka dengan baik (lihat QS. At Taubah [9]: 100). Barangsiapa membaca dan memperhatikan perjalanan hidup mereka, akan mengetahui kebaikan-kebaikan mereka, akhlak-akhlak yang agung, ittiba' mereka kepada Allah, perhatian mereka kepada iman, rasa takut mereka dari dosa, kemaksiatan, riya' dan nifaq, juga ketaatan mereka dan bersegera dalam kebaikan, kekuatan iman mereka dan kuatnya ibadah mereka kepada Allah dan sebagainya.

Dengan memperhatikan keadaan mereka, maka iman menjadi kuat dan timbul keinginan untuk menyerupai mereka dalam segala hal. Sebagaimana ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Barangsiapa lebih serupa dengan mereka (para shahabat Rasulullah), maka dia lebih sempurna imannya." (lihat Kitab Al Ubudiyah, hal 94). Dan tentunya, barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.

Itulah beberapa amalan yang insya Allah akan dapat menyebabkan bertambahnya keimanan. Adapun hal-hal yang dapat melemahkan iman seseorang adalah sebaliknya, di antaranya: Kebodohan terhadap syari'at Islam, lalai, lupa dan berpaling dari ketaatan, melakukan kemaksiatan dan dosa-dosa besar, mengikuti hawa nafsu dan sebagainya.

Mudah-mudahan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa diberi tambahan iman, dan dijauhkan dari kelemahan dan kehinaan. Wallahul musta'an.

(Dinukil dan disarikan dari Majalah Salafy, edisi XVIII/Shafar/1418/1997 oleh Abu Abdillah Ibnu Zuhri)

Amal Perbuatan Termasuk Dalam Iman (Bantahan atas Hanafiyah dan Murjiah)

Pembahasan amal termasuk iman sangatlah layak kita tampilkan dalam rubrik AQIDAH kali ini berkaitan dengan kajian utama majalah kita, yaitu tentang Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Hal ini disebabkan karena salah satu hujatan para Imam Jarh wat Ta’dil (kritik dan pembelaan) terhadap beliau rahimahullah dalam bidang akidah adalah ketergelinciran beliau dalam pemahaman Murjiah yang menyatakan amal bukan termasuk iman.

Hal ini ditegaskan lagi oleh Imam Abu Ahmad Abdullah bin Adi Al Jurjani (wafat tahun 365 H) dalam kitab Al Kamil Fi Dluafa’ir Rijal jilid 7 halaman 8, beliau berkata : Abdul Malik bercerita kepada kami, Yahya bin Abduka bercerita kepada kami, dia berkata : Saya mendengar Al Muqri berkata : “Abu Hanifah bercerita kepada kami dan dia adalah Murjiah.” Sambil Al Muqri mengeraskan suaranya dengan suara yang tinggi. Ditanyakan kepada Al Muqri : “Kenapa engkau meriwayatkan (hadits) darinya sedangkan dia berpaham Murjiah?” Dia menjawab : “Sesungguhnya aku menjual daging bersama tulang.” Ibnu Adi rahimahullah juga berkata : Telah bercerita kepada kami, Abdullah bin Abdul Hamid, Ibnu Abi Bazzah bercerita kepada kami, aku mendengar Al Muqri berkata : “Abu Hanifah bercerita kepadaku dan dia berpemahaman Murjiah. Dia menyeru aku kepada pemahaman Murjiah tetapi aku menolaknya.”

Ucapan Ibnu Adi tersebut juga dinukil oleh Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam kitabnya Nasyrus Shahifah Fi Dzikris Shahih Min Aqwal Aimmatil Jarh Wat Ta’dil Fi Abi Hanifah halaman 302. Pemahaman beliau tersebut juga diikuti oleh orang-orang yang mengikuti madzhab beliau, madzhab Hanafiyah. Di antaranya, Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath Thahawi (wafat tahun 321 H). Beliau mengatakan dalam Aqidah Thahawiyah : “Iman adalah ikrar dengan lisan dan membenarkan dengan hati.” Bahkan Imam Ibnu Abil Izzi Al Hanafi (wafat tahun 792 H) berusaha membela pendapat tersebut dalam Syarah Aqidah Thahawiyah pada halaman 33 dari kitab tersebut (cetakan Maktabatil Islami, tahun 1988 M), beliau menegaskan bahwa perselisihan antara Abu Hanifah dengan imam-imam lainnya dari kalangan Ahlus Sunnah adalah semata-mata perselisihan secara lafadh, tidak mengakibatkan kerusakan pada i’tiqad (keyakinan).

Pernyataan tersebut disanggah oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam ta’liq (catatan kaki) beliau terhadap Aqidah Thahawiyah. Beliau menyatakan pada halaman 22, cetakan Maktabah As Sunnah : “Perselisihan antara mereka (kaum Murjiah) dengan Ahlus Sunnah dalam masalah iman bukan semata-mata (perselisihan) secara lafadh bahkan mencakup perselisihan secara lafadh dan makna yang mengakibatkan berbagai hukum yang hanya dipahami oleh orang yang men-tadabbur ucapan Ahlus Sunnah dan ucapan Murjiah, wallahu musta’an.”

Pernyataan senada juga diterangkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam syarah dan ta’liq atas Aqidah Thahawiyah halaman 42-43. Perselisihan umat tentang permasalahan iman terbagi menjadi empat pendapat. Pertama, Ahlus Sunnah mengatakan iman adalah ucapan, amal, dan i’tiqad. Kedua, Murjiah mengatakan iman adalah ikrar dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Ketiga, Karamiyyah mengatakan iman adalah ikrar dengan lisan. Keempat, Jahmiyah mengatakan iman adalah mengetahui dengan hati. (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, cetakan Darut Thayyibah 2/830) Ketiga pendapat terakhir --yaitu yang tidak menyertakan amal sebagai bagian dari iman-- adalah pendapat yang bathil sebab bertentangan dengan dalil-dalil dari Al Kitab dan As Sunnah serta ijma’ para ulama Salaf.

Dalil-Dalil Yang Menunjukkan Amal Termasuk Iman

Berikut kita bawakan dalil-dalil yang menunjukkan kebenaran madzhab pertama, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Di antaranya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat Kami mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhan-Nya sedang mereka tidak menyombongkan diri.” (As Sajdah : 15) Allah menafikan keimanan dari selain mereka. Maka barangsiapa dibacakan Al Qur’an kepadanya kemudian tidak melakukan apa yang diwajibkan Allah yaitu sujud (shalat, red.), dia tidak tergolong orang-orang Mukminin karena sujud dalam shalat lima waktu adalah wajib menurut kesepakatan kaum Muslimin.

Adapun sujud tilawah, masih terdapat perselisihan padanya[1]. Di ayat lain Allah Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah mereka bertawakal. Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan orang yang menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya … .” (Al Anfal : 2-4)

Dalam ayat tersebut Allah menyebut sifat-sifat orang Mukmin dalam bentuk amal. Hal ini menunjukkan bahwa amal termasuk iman. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhanmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi keimanan seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman itu atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah : “Tunggulah olehmu, sesungguhnya kami pun menunggu (pula).” (Al An’am : 158)

Seperti itulah Allah menegaskan dalam firman-Nya bahwa keimanan orang-orang kafir, orang-orang yang mendustakan Rasul-Rasul-Nya, orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya dan orang-orang yang menghalangi dari jalan-Nya, tidaklah bermanfaat ketika muncul tanda-tanda hari kiamat bagi mereka yang tidak beriman sebelumnya serta tidak melakukan amalan-amalan kebaikan di masa imannya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa seluruh amal shalih termasuk bagian dari iman. Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang menjadi dalil bahwa amal adalah bagian dari iman.

Sedangkan dalil-dalil dari sunnah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda kepada tamu rombongan Abdul Qais : “Aku memerintahkan kalian dengan empat perkara : Beriman kepada Allah semata. Apakah kalian mengetahui iman itu apa? Bersyahadat bahwa tidak ada ilah yang berhak kecuali Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan kalian memberikan khumus (seperlima) dari rampasan perang.” (HR. Bukhari 523 dan Muslim 17 dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu).

Dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda : “Iman itu tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabang. Paling utamanya adalah ucapan lailaha illallah. Dan paling rendahnya adalah menyingkirkan duri dari jalan. Dan malu termasuk cabang dari iman.” (HR. Bukhari 9 dan Muslim 35) Dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda : “Seorang pezina tidak akan berzina sedang ia dalam keadaan beriman. Seorang peminum tidak akan minum khamr sedang ia dalam keadaan beriman. Dan seorang pencuri tidak akan mencuri sedang ia dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari 2475 dan Muslim 57).

Seandainya meninggalkan dosa-dosa besar tersebut bukan termasuk iman niscaya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menafikan kesempurnaan iman setiap pelaku dosa besar itu. Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan : “Demikian halnya para Salafus Shalih dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in seluruhnya sepakat bahwa iman adalah ucapan, amal, dan niat (i’tiqad) dan bahwasanya amal termasuk bagian dari iman[2].”

Bahkan mereka mengingkari dengan keras orang yang mengeluarkan amalan dari iman. Di antara yang mengingkari hal itu dan menganggapnya sebagai perkataan bid’ah adalah : Sa’id bin Jubair, Maimun bin Mihran, Qatadah, Ayyub As Sikhtiyani, An Nakhai, Az Zuhri, Ibrahim, Yahya bin Abi Katsir, dan lain-lain.

Imam Ats Tsauri berkata : “Pendapat itu adalah pendapat bid’ah. Kami mendapatkan manusia (para shahabat) berpendapat lain.” Imam Al Auza’i berkata : “Orang-orang terdahulu dari kalangan Salaf (shahabat) tidak memisahkan antara amal dengan iman.” Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada penduduk beberapa negeri : “Amma ba’du, sesungguhnya iman memiliki kewajiban-kewajiban dan syariat-syariat. Barangsiapa menyempurnakannya berarti imannya telah sempurna. Dan barangsiapa belum menyempurnakannya berarti imannya belum sempurna[3].” Syubhat Dan Jawabannya

Kalau dikatakan : “Dalam hadits Jibril (HR. Muslim nomor 8), Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memisahkan antara Islam dan iman dan menjadikan seluruh amalan-amalan bagian dari Islam bukan dari iman.” Syubhat tersebut sesungguhnya telah dijawab oleh Al Imam Al Hafidh Abu Faraj Ibnu Rajab Al Hanbali dalam Jami’ul Ulum wal Hikam[4], beliau berkata : “Adapun metode menjama’ nash-nash (yang telah lewat, pent.) dengan hadits pertanyaan Jibril ‘Alaihis Salam tentang Islam dan iman, pemisalan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam antara keduanya dan beliau memasukkan amalan-amalan bagian dari Islam, bukan bagian dari iman sesungguhnya akan jelas jika mengikuti suatu kaidah ushul yaitu di antara nama-nama itu ada yang mencakup berbagai perkara ketika berdiri sendiri dan tidak berkaitan dengan yang lain. Ketika dikaitkan dengan nama lain maka nama tersebut hanya menunjukkan sebagian perkara saja, sedangkan nama yang dikaitkan dengannya menunjukkan sisanya, seperti fakir dan miskin.

Jika salah satu dari keduanya berdiri sendiri maka setiap orang yang butuh termasuk padanya. Namun jika keduanya dikaitkan maka salah satu nama tersebut menunjukkan sebagian dari jenis-jenis orang yang memiliki hajat dan selebihnya untuk yang lain. Demikian halnya nama Islam dan iman. Jika salah satu dari keduanya berdiri sendiri maka yang lain termasuk padanya. Salah satu dari keduanya menunjukkan yang lain ketika berdiri sendiri. Namun apabila keduanya digabungkan maka salah satu dari keduanya menunjukkan sebagian apa yang ditunjukkan ketika berdiri sendiri dan selebihnya untuk yang lain. Penjelasan semacam ini telah ditegaskan oleh sejumlah ulama, di antaranya adalah Abu Bakar Al Ismaili (wafat tahun 371 H). Beliau mengatakan dalam suratnya kepada penduduk suatu gunung : “Kebanyakan dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah berkata : Sesungguhnya iman itu adalah ucapan dan amal dan Islam adalah perbuatan yang diwajibkan Allah atas manusia untuk dikerjakan. Jika setiap nama disebutkan menurut definisinya masing-masing kemudian bergabung dengan nama lain, --seperti ucapan : Seluruh kaum Muslimin dan Mukminin-- maka makna yang diinginkan dari salah satunya berbeda dengan yang diinginkan pada yang lain. Tetapi jika disebut satu saja dari dua nama itu maka mereka seluruhnya tercakup (artinya pengertian Muslim tercakup di dalamnya kalau disebutkan hanya kata Mukmin saja, ed.).”

Sebagai bukti atas kebenaran penjelasan itu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menafsirkan iman ketika disebutkan berdiri sendiri pada hadits tentang tamu rombongan Abdul Qais (yang telah lewat) --seperti penafsiran beliau terhadap Islam yang dikaitkan dengan iman dalam hadits Jibril. Sebaliknya, beliau menafsirkan Islam dengan penafsiran iman dalam hadits lain.

Hal ini bisa dilihat dalam Musnad Imam Ahmad[5] dari Amr bin Unaisah radliyallahu 'anhu, dia berkata : Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kemudian berkata : “Wahai Rasulullah, apakah Islam itu?” Beliau bersabda : “Engkau menyerahkan hatimu untuk Allah dan kaum Muslimin selamat dari lisan (kata-katamu) dan tanganmu.” Dia bertanya lagi : “Islam yang manakah yang lebih utama?” Beliau bersabda : “Iman.” Dia bertanya : “Apakah iman itu?” Beliau bersabda : “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kebangkitan setelah mati.” Dia bertanya : “Amalan manakah yang lebih utama?” Beliau bersabda : “Engkau meninggalkan kejelekan.” Dia bertanya : “Hijrah mana yang lebih utama?” Beliau bersabda : “Berjihad.” Pada hadits di atas, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjadikan iman sebaik-baik Islam. Dan beliau memasukkan amalan-amalan sebagai bagian dari iman. Dengan rincian ini, jelaslah permasalahan iman dan Islam, apakah keduanya mempunyai satu makna atau berbeda. Sesungguhnya Ahlus Sunnah dan hadits juga berselisih pendapat dalam masalah ini, sehingga mereka membuat berbagai tulisan menyangkut permasalahan tersebut.

Ada yang menyatakan bahwa keduanya (iman dan Islam) satu makna dan ini sesuai dengan jumhur ulama. Di antara mereka adalah : Muhammad bin Nashr Al Marwazi dan Ibnu Abdil Bar. Ucapan ini juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri dari riwayat Ayyub bin Suwaid Ar Ramali dari Sufyan, cuma rawi Ayyub memiliki kelemahan.

Ada pula yang meriwayatkan dari Ahlus Sunnah bahwa keduanya berbeda makna. Seperti Abu Bakar bin As Sam’an dan lain-lain. Di antara kaum Salaf yang menyatakan tentang perbedaan ini adalah : Qatadah, Dawud bin Abi Hind, Abu Ja’far Al Baqir, Az Zuhri, Hammad bin Zaid, Ibnu Mahdi, Syuraik, Ibnu Abi Zi’bin, Ahmad bin Hanbal, Abu Khaitsamah, Yahya bin Ma’in, dan lain-lain, walaupun alasan pembedaannya berlainan. Al Hasan (Al Bashri) dan Ibnu Sirin berkata bahwa seseorang itu Muslim dan keduanya enggan menyatakan Mukmin. Tetapi dengan penjelasan yang kami (Ibnu Rajab) sebutkan, perbedaan itu terselesaikan. Maka dikatakan : “Jika Islam dan iman disebutkan dalam keadaan sendiri-sendiri maka tidak ada perbedaan di antara keduanya, sedangkan jika digabungkan maka keduanya memiliki perbedaan.” Akibat Buruk Mengeluarkan Amal Dari Iman

Pada pembahasan awal telah disinggung beberapa alasan pemahaman yang menyimpang dari i’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah iman. Dari penyimpangan-penyimpangan itu akan muncul berbagai keyakinan yang mengancam akidah umat Islam, seperti ucapan Jahmiyah yang menyatakan iman adalah mengetahui dengan hati. Mereka menganggap orang-orang kafir memiliki iman, sebab Allah berfirman tentang orang-orang Quraisy : “Sesungguhnya mereka tidak mendustakan kamu akan tetapi orang-orang yang dhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (Al An’am : 33) “Orang-orang (yahudi dan nashrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri.” (Al Baqarah : 146)

Sedangkan orang-orang Karamiyah, mereka menganggap bahwa orang-orang munafik adalah Mukmin karena iman itu --menurut mereka-- ialah ikrar (pernyataan) dengan lisan saja. Begitu pula Murjiah, mereka menganggap bahwa iman para Rasul sama dengan iman Fir’aun dan semisalnya. Iman para shahabat sama dengan iman kaum munafikin, sehingga berdasarkan seluruh ucapan sesat mereka itu gugurlah seluruh beban/perintah syariat. Sebab tidak ada perbedaan antara yang beramal dengan yang tidak beramal, yang beriman dengan yang tidak beriman di sisi mereka sama saja. Mudah-mudahan kita dilindungi Allah Subhanahu wa Ta'ala dari berbagai penyimpangan, baik akidah maupun manhaj dan menunjuki kita ke jalan yang lurus, jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

[1] Lihat Salafy edisi 24 rubrik Ahkam.
[2] Bagi yang ingin merujuk kembali ucapan-ucapan mereka, silakan melihat kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah.
[3] Dinukil dari Iqadhul Himam Al Muntaqa min Jami’il Ulum wal Hikam li Ibni Rajab Al Hanbali oleh Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, halaman 59 cetakan Darul Ibnul Jauzi.
[4] Lihat Iqadhul Himam halaman 59-70, juga dijelaskan panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Al Iman halaman 129-137, cetakan Darul Hadits, Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi dalam Syarah Al Aqidah Thahawiyah halaman 344-351, cetakan Maktabah Al Islami.
[5] Disebutkan oleh Syaikh Salim Al Hilali pada juz 4 halaman 114 dengan sanad-sanadnya yang shahih dan rawi-rawinya tsiqah/terpecaya.

Sumber : Artikel Amal Perbuatan Termasuk Iman, oleh Ustadz Azhari Asri (Sebuah Bantahan Terhadap Madzhab Hanafiyah dan Murjiah) [SALAFY XXIX/1419/1999/AQIDAH]