Membongkar Mitos Politik Jawara (di Banten)

Sejarawan Taufiq Abdullah pernah menyebut Banten sebagai tanah jawara dan kyai. Tapi mungkin itu adalah tatapan versi lama. Hari ini, di Banten yang tersisa adalah tanah untuk para jawara. Lengkapnya: penguasaan tanah (secara politik dan ekonomi) oleh kuasa Jawara.

Hanya Kabupaten dan Kota Tangerang yang bebas dari kuku cengkraman sebuah dinasti politik yang bermodalkan mitos power politicera silam (manipulasi mitos, pemanfaatan psikologi ketakutan, dan jangkar ekonomi kapitalis semu). Meskipun dalam prakteknya tak benar-benar bebas. Atau jika tak setuju dengan istilah itu, dibalik saja: tak bebas-bebas benar. Masih ada epistemologi khas Jawara dalam menggarap segala urusan.

Gertak ancaman, main kayu, perang urat syaraf, dan selesai oleh upeti, betapapun adalah bagian dari nafas hidup kaum Jawara. Inilah yang membedakan sosok Jawara dengan tradisi pemanfaatan seni bela diri di berbagai belahan tempat lain di dunia. Kita mengenal Mafioso, Yakuza, Triad, Gangster, atau apapun, sebagai gerombolan bandit terorganisir. Sederetan nama berjenis kartel dan sindikasi kaum pengacau itu mungkin lebih memiliki irisan persamaan dengan tema yang kita bincangkan. Tetapi jangan sandingkan dengan (misalnya) etos Samurai, dengan disiplin bushido (jalan ksatria) yang teramat kuat.

Meski sama-sama mengusung kehandalan fisik, tetapi mereka mengenal rasa malu dan harga diri. Martabat para ksatria di jalan Samurai adalah membela yang benar. Bukan mendukung mereka yang bayar. Untuk sekedar memainkan sebutan, cocoknya begini: bila Samurai disebut The Way of Warrior, maka Jawara menganut pilihan The Way of Horror…

Bila sebegitu kaidahnya, maka Kota dan Kabupaten Tangerang sekalipun masih kena getah. Dua petak wilayah di tatar Sunda itu hanya selamat secara formal. Tidak dipimpin oleh trah Jawara.

Mari lanjutkan: per teori, riwayat Jawara sendiri adalah manipulasi mitos yang luar biasa. Mulai dari menempelkan kharisma ketokohan era lalu, merujuk pada kedigdayaan para pejuang masa silam, dan kesaktian imajiner yang hanya beredar dalam dongeng. Kalaupun kesejatian lelaku para manusia digdaya itu hadir, mungkin bukan dari sekte Jawara. Melainkan lahir karena spirit dakwah, perjuangan semesta, bela diri negeri, dan perlawanan atas penindasan.

Pembelaan paling proporsional adalah: bahwa para bandit, coro, dan bromocorah memang bisa saja eksis dalam blok perjuangan rakyat melawan, misalnya, kumpeni Belanda. Untuk itu, semua pihak boleh dibilang berjasa. Lagipula, sejumlah literatur menunjukkan hal itu. Di saat-saat darurat, oleh pergolakan dan pemberontakan, kerapkali campur baur antara kekuatan “putih” dan “hitam” tak terhindarkan. Garis pembedanya hanya terletak di aras motivasi. Sekelompok nama-nama hitam itu tentu berjibaku dengan agenda sendiri-sendiri. Terlihat kentara, misalnya, di saat suasana terkendali, gerombolan hitam itu lebih memilih menjadi centeng.

Lalu, silahkan lacak di pelbaga referensi. Rata-rata spekulatif. Tak ada klaim yang ajeg, dari manakah kelahiran dan sumbangsih melegenda dari para Jawara itu? Selain bersandar pada klaim-klaim samar. Misalnya merujuk pada tradisi para tokoh masa lalu yang memiliki ilmu kanuragan, kesaktian, dan kedigdayaan supranatural. Atau menyebut sejumlah kisah-kisah heroik dalam pelbagai aksi perjuangan melawan para penjajah. Malah, dari tatanan kebahasaan sekalipun, istilah jawara ini nyaris sumir. Ada yang menyebut dengan kasar: jawara adalah jalema wani ngarampok (bahasa Sunda, artinya orang yang berani melakukan perampokan!). Duh…

Kini lanjutkan ke frase pemanfaatan psikologi ketakutan. Betapa tidak konkret. Bahkan di desa-desa pinggiran hingga hari ini, Jawara masih menancapkan kuku. Mereka, jika tidak jadi lurah (Kepala Desa),maka minimal jadi jaro (kepala dusun). Ini dalam skema politik. Dalam lanskap sosial budaya, para jawaralah yang menikmati sepenuhnya. Tapi tidak dalam konsep sosial dan budaya yang adiluhung, melainkan pada ekses negatif (yang memang selalu terjadi di mana-mana). Atmosfir sosial budaya, misalnya dalam kehidupan sehari-hari di Banten Pedesaan, bercorak Jawara benar. Setidaknya jika itu dilacak pada ruang publik yang semarak di pelosok Banten.

Betapa ramai sabung ayam, ajang judi dadu, main kartu di pos ronda, saweran dalam panggung dangdut, dan pelbagai konflik sosial dengan kekerasan terbatas, selalu dipelopori oleh nama yang kita diskusikan ini. Tradisi-tradisi berkelas Tipiring (dalam pasal KUHP, alias Tindak Pidana Ringan) ini, sama sekali tak bisa dilawan. Karena warga seumumnya terjebak oleh ketakutan yang mereka ciptakan sendiri. Tepatnya “ketakutan” yang dipelihara turun temurun.

Mari lengkapi dengan argumen ketiga (jika yang pertama adalah manipulasi mitos, kedua psikologi ketakutan). Tak lain adalah jangkar ekonomi kapitalis semu, atau ersatz capitalism. Fenomena ini memang tidak khas Banten, malah disebut-sebut menjadi corak ekonomi kapitalis di Asia Tenggara.

Rujukannya bisa ditempelkan kepada studi dari Yoshihara Kunio, yang menyebut betapa sumirnya para kapitalis dan orang kaya di Asia Tenggara. Mereka besar, tidak seperti kapitalis Amerika atau Jepang yang mengusung inovasi, produktivitas, keunggulan, kompetensi dan profesionalitas. Para kapitalis Asia Tenggara, menggurita karena menyusu pada Negara. Main proyek, mencurangi tender, merampok APBN atau APBD, kongkalingkong mark up, bancakan, dan silahkan tambah sendiri. Sialnya, pembesaran ini juga tertopang dengan sumber daya yang gampang dijual, mulai dari alam, tenaga kerja, fasilitas, atau barang-barang bernilai dan strategis lainnya. Gurita kekayaan trah Jawara di Banten, kalau mau jujur, segaris dengan pola-pola kapitalisme semu itu. Apa sih barang atau jasa inovasi mereka?
Mitologisasi
Intinya, pembesaran kuasa politik Jawara di Banten menguat karena miskinnya counter culture (budaya tanding) dari kelompok lain. Warna dominan Banten hari ini, menyisakan kultur Islam, dengan peran Kyai dan Ulama Kharismatk hanya sebagai simbol sosiologis. Beda dengan sub kultur ke-Jawara-an, begitu mengakar dalam urat nadi politik dan ekonomi warga di provinsi pecahan Jawa Barat itu.

Terhitung di medio Tahun 1970-an, kelompok Jawara Banten kian berkibar, manakala menjadi bagian dari sayap politik Partai Golkar. Sejumlah konsesi ekonomi politik mulai tumbuh semenjak itu.

Sementara kultur ke-Ulama-an, dengan tradisi kitab dan dinamika intelektualnya, kian menyurut dan sepi. Sesungguhnya, ini adalahanakronisme (pertentangan) dengan garis sejarah. Sejatinya, Banten tumbuh dan besar oleh kultur Kyai, budaya Islam militan, dan memiliki warisan intelektual ke-Islam-an yang mumpuni. Orang harus ingat siapa Syeikh Nawawi Al Bantani beserta jaringan ulama yang menjadi murid dan penerusnya. Tetapi, akar tradisi dan kultur tinggi itu meredup dan belum bangkit hingga hari ini.

Akar masalahnya terletak pada struktur psikologis warga Banten sendiri. Mereka memakai logika terbalik, justru memitologisasikan tradisi keulamaan seraya mengaktualisasikan tradisi kejawaraan. Hingga hari ini, wasiat agung para Ulama dan Kyai Kharismatik di Banten, bukannya dilacak secara akademik dan intelektual, tetapi malah menjadi ajang ziarah kubur, penghormatan hiperbolik, dan memistifikasi karomah ke-wali-an. Praktek seperti ini nyata-nyata menggerus spirit intelektual dan keunggulan sejati para Ulama. Kalaupun masih ada apresiasi minimal, justru memosisikan para Kyai dan Ulama untuk perkara mirip-mirip klenik dan perdukunan, tak jauh dari minta zimat, ngalap berkah, dan sejenisnya.

Sementara para Jawara, yang sebetulnya hidup karena mitologisasi yang disebutkan diatas, malah berperan sangat aktual. Begitu dominan dan menjadi warna eksperimen sosial politik sehari-hari.

Demitologisasi
Ikhtiar pembalikan logika inilah yang perlu. Mitos politik Jawara tak akan runtuh hanya karena mega patronnya telah tiada - selama dalam benak publik masih ada kompromi samar dengan mereka.

Jalur tercepat, bisa ditempuh dengan mengokohkan memori publik bahwa: mitos sesungguhnya tidak pernah memiliki kebenaran faktual, melainkan pembenaran aktual. Seperti nasehat Karen Armstrong, bahwa kebenaran mitos tidak terletak dalam fakta-fakta, melainkan pada dampaknya (menaklukkan opini publik).

Berhentilah dengan praktek pembiaran dan pemakluman, bahwa memang Banten sudah dari sononya berwarna Jawara. Tidak! Semua ini adalah rekayasa budaya, guna menaklukkan jati diri Banten yang sebenarnya. Sebab warisan sejarah Banten yang sesungguhnya tidak terletak di situ. Melainkan pada tradisi kosmopolit, egaliter, lintas batas, budaya intelektual, dan Islam. Sebuah sumber bahkan berani menyebut, bahwa dulu, jawara yang sejati adalah khodam (pengawal) para Kyai. Inilah yang kita butuh, di Banten. Semoga…