Menang Pileg, Kalah Pilpres

Lembaga kajian Economist Intelligence Unit (EIU) milik majalah ekonomi terkemuka The Economist, punya baru saja mengeluarkan prediksi menarik soal Pemilu 2009. EIU menjagokan PDIP menang pemilu legislatif (pileg), sedangkan SBY-JK bakal menang pemilihan presiden pilpres.

Di sisi lain, Lembaga Survei Indonesia (LSI) meluncurkan temuan terbarunya mengenai tingkat keterpilihan parpol selama kurun waktu November 2008. LSI menempatkan Partai Demokrat (PD), Partai Golkar (PG), PDIP pada urutan tiga teratas dengan skor masing-masing 16,8 %, 15,9% dan 14,2 %. Padahal survei serupa yang dilakukan Juni 2008 menunjukkan urutan PDIP (24,2 %), PG (19,7 %) dan PD (12,1 %).


Temuan LSI itu sekedar menggambarkan realitas saat ini, bukan untuk memastikan realitas politik pada Pemilu 2009 yang bakal digelar April 2009. Meski begitu, data-data hasil penelitian LSI dan EIU dapat mewakili adanya persaingan ketat tiga parpol besar yang bakal ikut menentukan hasil pemenang Pemilu 2009.


Posisi persaingan ketat tiga parpol besar tersebut tidak lepas dari pengaruh ”iklan sukses pemerintah”. Dampaknya, PD terdongkrak dalam hal keterpilihan parpol. Kondisi ini menyebabkan PG juga mengklaim bahwa sukses pemerintah bukan hanya milik PD, melainkan juga milik PG.


Kilas Balik Pemilu

Pasca reformasi, Pileg 1999 dimenangkan PDIP tapi tidak menjamin presidennya dari parpol pemenang pileg ini. Presiden dan wapres waktu itu dilakukan MPR sesuai dengan amanat pasal 1 ayat (2) dan pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Hasilnya, konspirasi politik di MPR menyebabkan Megawati (PDIP) gagal jadi presiden. Dia harus puas menempati kursi wapres, sedangkan presidennya dijabat Gus Dur (PKB).


Situasi politik berubah di tengah periode, sehingga Presiden Gus Dur ”digulingkan”. MPR memilih pasangan baru memimpin pemerintahan. Kali ini terpilih Presiden Megawati (PDIP) dan Wapres Hamzah Haz (PPP).


Jika waktu itu situasi politik normal, dan semua pihak menghormati hasil pileg 1999, fatsoen politiknya sangat mungkin presiden dan wapres dijabat oleh calon dari dua parpol pemenang pileg dan runner up. Dalam konteks itu adalah PDIP dan PG.


Pileg 2004, posisi pemenang berubah menjadi PG dan PDIP runner up. Dan pilpres sudah ada UU tersendiri. Presiden dan wapres dipilih langsung oleh rakyat sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pilpres. Perubahan sistem ini karena UUD 1945 sudah diamandemen. Payung hukum pilpres di konstitusi setelah ada di pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen.


Ternyata, hasil Pilpres 2004 tidak ada relevansinya dengan hasil pileg. Capres Wiranto (PG) berpasangan dengan Cawapres Gus Solah (PKB) kalah di putaran I. Sedangkan Capres Megawati (PDIP) berpasangan dengan Hasyim Muzadi (non parpol, ketua umum PBNU) kalah di puataran II. Sedangkan Capres SBY (PD) berpasangan dengan Jusuf Kalla (kader PG yang keluar dari konvensi) justru bertengger di rangking pertama pada pilpres putaran I, dan akhirnya memenangkan pilpres di putaran II.


Dari kilas balik dua kali pemilu pasca reformasi itu menunjukkan fakta politik bahwa tidak ada relevansi antara realitas hasil pileg dan pilpres. Fakta politik itu menunjukkan presiden dan wapres terpilih benar-benar karena faktor dominannya konspirasi politik di MPR hasil Pileg 1999. dan dominannya faktor figur capres di Pilpres 2004.


Sedangkan kesamaan dari dua kali pileg tersebut adalah merosotnya dukungan rakyat pada pileg akibat persepsi rakyat terhadap kegagalan pemerintahan selama satu periode sebelum pemilu. PDIP menang Pileg 1999 yang akhirnya Megawati jadi presiden paruh periode, berakibat kalahnya PDIP di Pileg 2004. Akankah PG yang menang Pileg 2004 juga harus menderita kekalahan yang sama pada Pileg 2009 nanti? Harus dilihat dulu tingkat kepuasan rakyat terhadap pemerintahan SBY-JK.


Proyeksi Pemilu 2009

Pileg 2009 dengan payung hukum UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Sedangkan Pilpres punya payung hukum UU Pilpres yang barui disahkan DPR RI 30 Oktober 2008 yang lalu.


Jika tingkat kepuasan rakyat cukup tinggi terhadap duet SBY-JK, maka peluang PG untuk menang Pileg 2009 lebih tinggi ketimbang peluang PDIP. Faktor peluang PD untuk menang Pileg 2009 masih banyak yang meragukan.


Sebaliknya, jika tingkat kepuasan rakyat rendah terhadap duet SBY-JK, maka peluang PDIP cukup tinggi untuk memenangkan Pileg 2009. Pengalaman politik seperti Pileg 1999 dan Pileg 2004 bisa terulang kembali. Dari konteks ini, prediksi EIU tentang peluang PDIP menang Pileg 2009 cukup logis.


Namun, peluang Megawati (PDIP) di Pilpres 2009, ada beberapa faktor yang akan mempengaruhinya. Pertama, bagaimana tingkat kepuasan rakyat terhadap duet SBY-JK pada hasil survei selama tiga bulan terakhir nanti yakni Januari-Maret 2009. makin tinggi ketidakpuasan rakyat terhadap SBY-JK, maka peluang Megawati terbuka lebar untuk menang Pilpres 2009.


Kedua, duet SBY-JK mampu bertahan atau justru pecah pada Pilpres 2009. Keinginan politik SBY dan JK terlihat masih ingin berpasangan lagi. Tapi, di internal PG banyak ketidakpuasan apabila jago PG hanya mengejar kursi wapres. Masalahnya, PG sudah menang Pileg 2004 dan saat ini ketua umum PG hanya menjadi wapres. Kalangan internal PG optimis masih mampu bertahan sebagai pemenang Pileg 2009. Akibatnya, ada tuntutan supaya PG mengusung capres sendiri. Substansi politik dari aspirasi itu adalah kalau JK benar-benar konsekuen, harus berani tampil jadi capres dan meninggalkan duetnya dengan SBY.


Ketiga, tergantung figur cawapres yang mendampingi Capres Megawati. Tingkat keterpilihan figur cawapres yang mendampingi Megawati, riilnya harus didukung oleh kekuatan parpol besar atau koalisi besar dari sejumlah parpol. PDIP tentu sudah belajar dari kegagalan di Pilpres 2004 yang hanya mengusung pasangan capres/cawapres tanpa menjalin koalisi besar dengan sejumlah parpol.

Kampanye Caleg dan Realitas Prilaku Pemilih

Pemilu 2009 diprediksi terjadi perubahan orientasi rakyat dalam memilih calon anggota legislatif. Kecenderungan zig-zag pilihan diprediksi makin membesar. Perubahan perilaku pemilih itu tidak lepas dari berlakunya sistem pemilu yang menerapkan caleg terpilih dengan suara terbanyak.

Yang dimaksud pilihan zig-zag adalah rakyat memilih caleg dan parpol secara tidak seragam. Rakyat memilih caleg DPRD Kabupaten/Kota dari satu parpol, tapi pilihan caleg DPRD Propinsi atau DPR RI bisa berasal dari parpol lain. Dengan kata lain, rakyat memilih caleg karena suka dengan figurnya, tanpa peduli dengan parpol yang mengusung caleg yang bersangkutan.

Gejala seperti itu sebenarnya sudah nampak pada Pemilu 2004. Beberapa LSM mencatat perubahan perilaku pemilih yang tergolong zig-zag berkisar antara 4-5 persen. Rakyat mulai dihadapkan pada suatu pilhan politik yang lebih mengutamakan figur calegnya, sedangkan parpolnya menjadi pertimbangan berikutnya.

Sistem pemilu saat itu sudah dikenal adanya caleg terpilih “secara otomatis” bila memperoleh suara mencapai angka BPP (Bilangan Pembagi Pemilihan). Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 107 ayat (2) huruf (a) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sedangkan Pasal 107 ayat (2) huruf (b) mengatur caleg terpilih yang tidak mencapai angka BPP ditetapkan berdasarkan nomor urut caleg di daerah pemilihan (dapil) yang bersangkutan.

Kini, secara teoritik perilaku pemilih zig-zag makin dapat tempat yang sangat leluasa. Sistem penentuan caleg terpilih pada Pemilu 2009 tidak berlaku nomor urut caleg. Ketentuan ini berlaku setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menganulir Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Pengaturan terbaru tentang penentuan caleg terpilih itu dikenal sebagai ketentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Realisasi perubahan ketentuan caleg terpilih itu dan sejumlah pasal lainnya dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 sedang digodok dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).

Persiapan ke arah itu nampak dari pertemuan antara Pemerintah, KPU dan Bawaslu dengan agenda mematangkan sejumlah draf pasal per pasal Perppu Pemilu yang akan diajukan ke DPR. Perppu Pemilu ini akan memayungi tiga masalah yakni tata cara menandai dua kali dalam surat suara, perubahan daftar pemilih tetap, penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak.

Perkembangan terakhir, pemerintah cenderung tidak memasukkan ketentuan penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak tersebut dalam draf Perppu yang diajukan ke DPR. Alasannya, masih terjadi perdebatan dasar hukum terkait pelaksanaannya. Sebagian berpendapat cukup diatur dalam peraturan KPU, sebagian lagi berpendapat harus diatur dalam bentuk Perppu.

Perubahan Model Kampanye
Sebagaimana lazimnya sebuah kampanye politik, pencitraan parpol sebagai peserta pemilu menjadi garapan utama. Jika pencitraan parpol ini berhasil dilakukan dengan baik, maka caleg-caleg yang bernaung dibawahnya akan meraih sukses seperti yang ditargetkan.

Model kampanye seperti ini memungkinkan para caleg menumpang kebesaran nama parpolnya. Sehingga, seluruh daya politik dan dana politik yang dimiliki oleh para caleg dapat dimobilisir parpol pengusungnya. Dalam konteks ini kampanye parpol juga menjadi ajang kampanye bagi para calegnya. Maka jangan heran bila di panggung kampanye parpol sering kali dikenalkan satu persatu figur caleg yang ikut berlaga di dapil yang bersangkutan.

Pemandangan kampanye seperti itu tidak bakal dijumpai lagi pada Pemilu 2009 nanti. Upaya pencitraan parpol sudah mulai nampak lebih mengutamakan model sosialisasi lewat iklan di media massa (terutama televisi). Bahkan beberapa caleg yang punya dana banyak juga melakukan sosialisi figur dirinya lewat media massa (terutama televisi).

Ada kecenderungan model kampanye berupa rapat umum di lapangan terbuka sudah mulai tidak dipakai lagi. Model kampanye berupa kontak langsung dengan konstituen dilakukan dalam forum dialog tertutup. Tentunya, daerah jangkauannya juga terbatas. Kegiatan kampanye model dialog terbatas ini diadakan atas inisiatif dan biaya dari para caleg sendiri.

Dalam kampanye Pemilu 2009 benar-benar menjadi tantangan tersendiri bagi bagi para caleg. Harapan parpolnya untuk meraih suara sesuai target, telah dibebankan di pundak para calegnya. Dengan kata lain, caleg memiliki kewajiban personal untuk membesarkan nama parpolnya.

Perilaku Calon Konstituen
Para caleg dalam menggelar kampanye untuk sosialisasi profil dirinya, visi dan misi yang ditawarkan kepada calon konstituen harus teliti dalam memilih metode. Sebab, kampanye yang digelar sudah termasuk bagian dari bentuk komunikasi massa.

Tentunya para caleg dituntut memahami bahwa Komunikasi massa adalah suatu kegiatan penyampaian pesan, gagasan, informasi dari seseorang kepada sekelompok orang lainnya. Oleh karena itu dalam komunikasi massa, mengandung empat unsur penting. Yakni komunikator (caleg sebagai penyampai pesan), isi pesan, komunikan (komunitas sebagai sasaran komunikasi), dan media komunikasi.

Seringkali dalam praktek komunikasi terjadi hambatan yang disebabkan adanya beberapa faktor. Pertama, faktor motivasi. Yang harus dipahami dalam konteks ini adalah motivasi individu atau kelompok dapat mempengaruhi opini. Kepentingan individu atau kelompok akan mendorong orang atau kelompoknya untuk berbuat dan bersikap sesuai dengan kebutuhannya. Komunikasi yang tidak sesuai dengan motivasi orang atau kelompok (golongan) akan mendapat kesulitan-kesulitan.

Kedua, faktor prasangka. Bila seseorang sudah dihinggapi prasangka terhadap sesuatu masalah (golongan, suku, agama dan sebagainya) maka penilaiannya terhadap sesuatu hal tidak akan obyektif lagi. Penilaian orang atau kelompok tersebut tidak didasarkan pada rasio, tetapi hanya berdasarkan emosi, sentimen semata-mata. Pandangannya hanya diarahkan pada segi-segi negatifnya saja.

Ketiga, faktor pragmatisme komunikan. Massa yang hadir dalam forum kampanye politik yang digelar para caleg, telah mengalami perubahan sikap dalam memandang politik praktis.

Selama masa kampanye sosialisasi para caleg sudah ada pengalaman pahit yang dialami sebagai contoh empirik. Masyarakat perkotaan punya daya kritis yang lebih tajam dalam menyikapi janji-janji politik para caleg. Masalah ini yang sering menyulitkan para caleg dalam melakukan sosialisasi figurnya. Dan akhirnya gagal dalam kualitas komunikasi politik.

Lain lagi pengalaman para caleg yang kampanye sosialisasi di daerah pedesaan. Pemilih di wilayah ini juga menunjukkan perilaku pragmatis akibat pengalaman pilkades (pemilihan kepala desa), dan pilbup (pemilihan bupati). Sudah menjadi tradisi dalam pilkades selalu memberi imbalan uang kepada calon pemilih. Alasannya boleh dibilang logis, sebagai ganti pengahasilan pekerjaan harian yang mereka tinggalkan gara-gara kegiatan mencoblos di pilkades.

Sikap pragmatisme ini juga berlanjut ketika berlangsung pilbup secara langsung dipilih oleh rakyat di daerahnya. Uniknya, para calon yang berlaga dalam pilbup juga menuruti tradisi yang berlangsung seperti pilkades yakni money politics (politik uang).

Kini, ketika para caleg mendatangi rakyat di pedesaan tersebut terkena getahnya. Mereka “ditodong” untuk memberi imbalan uang kepada calon pemilih yang besarnya sama dengan uang yang pernah didapat saat pilkades dan pilbup. Para caleg baru sadar bahwa sebenarnya pilkades itu telah lama mentradisi sebagai “soko guru politik uang”.