Kampanye Caleg dan Realitas Prilaku Pemilih

Pemilu 2009 diprediksi terjadi perubahan orientasi rakyat dalam memilih calon anggota legislatif. Kecenderungan zig-zag pilihan diprediksi makin membesar. Perubahan perilaku pemilih itu tidak lepas dari berlakunya sistem pemilu yang menerapkan caleg terpilih dengan suara terbanyak.

Yang dimaksud pilihan zig-zag adalah rakyat memilih caleg dan parpol secara tidak seragam. Rakyat memilih caleg DPRD Kabupaten/Kota dari satu parpol, tapi pilihan caleg DPRD Propinsi atau DPR RI bisa berasal dari parpol lain. Dengan kata lain, rakyat memilih caleg karena suka dengan figurnya, tanpa peduli dengan parpol yang mengusung caleg yang bersangkutan.

Gejala seperti itu sebenarnya sudah nampak pada Pemilu 2004. Beberapa LSM mencatat perubahan perilaku pemilih yang tergolong zig-zag berkisar antara 4-5 persen. Rakyat mulai dihadapkan pada suatu pilhan politik yang lebih mengutamakan figur calegnya, sedangkan parpolnya menjadi pertimbangan berikutnya.

Sistem pemilu saat itu sudah dikenal adanya caleg terpilih “secara otomatis” bila memperoleh suara mencapai angka BPP (Bilangan Pembagi Pemilihan). Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 107 ayat (2) huruf (a) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sedangkan Pasal 107 ayat (2) huruf (b) mengatur caleg terpilih yang tidak mencapai angka BPP ditetapkan berdasarkan nomor urut caleg di daerah pemilihan (dapil) yang bersangkutan.

Kini, secara teoritik perilaku pemilih zig-zag makin dapat tempat yang sangat leluasa. Sistem penentuan caleg terpilih pada Pemilu 2009 tidak berlaku nomor urut caleg. Ketentuan ini berlaku setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menganulir Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Pengaturan terbaru tentang penentuan caleg terpilih itu dikenal sebagai ketentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Realisasi perubahan ketentuan caleg terpilih itu dan sejumlah pasal lainnya dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 sedang digodok dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).

Persiapan ke arah itu nampak dari pertemuan antara Pemerintah, KPU dan Bawaslu dengan agenda mematangkan sejumlah draf pasal per pasal Perppu Pemilu yang akan diajukan ke DPR. Perppu Pemilu ini akan memayungi tiga masalah yakni tata cara menandai dua kali dalam surat suara, perubahan daftar pemilih tetap, penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak.

Perkembangan terakhir, pemerintah cenderung tidak memasukkan ketentuan penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak tersebut dalam draf Perppu yang diajukan ke DPR. Alasannya, masih terjadi perdebatan dasar hukum terkait pelaksanaannya. Sebagian berpendapat cukup diatur dalam peraturan KPU, sebagian lagi berpendapat harus diatur dalam bentuk Perppu.

Perubahan Model Kampanye
Sebagaimana lazimnya sebuah kampanye politik, pencitraan parpol sebagai peserta pemilu menjadi garapan utama. Jika pencitraan parpol ini berhasil dilakukan dengan baik, maka caleg-caleg yang bernaung dibawahnya akan meraih sukses seperti yang ditargetkan.

Model kampanye seperti ini memungkinkan para caleg menumpang kebesaran nama parpolnya. Sehingga, seluruh daya politik dan dana politik yang dimiliki oleh para caleg dapat dimobilisir parpol pengusungnya. Dalam konteks ini kampanye parpol juga menjadi ajang kampanye bagi para calegnya. Maka jangan heran bila di panggung kampanye parpol sering kali dikenalkan satu persatu figur caleg yang ikut berlaga di dapil yang bersangkutan.

Pemandangan kampanye seperti itu tidak bakal dijumpai lagi pada Pemilu 2009 nanti. Upaya pencitraan parpol sudah mulai nampak lebih mengutamakan model sosialisasi lewat iklan di media massa (terutama televisi). Bahkan beberapa caleg yang punya dana banyak juga melakukan sosialisi figur dirinya lewat media massa (terutama televisi).

Ada kecenderungan model kampanye berupa rapat umum di lapangan terbuka sudah mulai tidak dipakai lagi. Model kampanye berupa kontak langsung dengan konstituen dilakukan dalam forum dialog tertutup. Tentunya, daerah jangkauannya juga terbatas. Kegiatan kampanye model dialog terbatas ini diadakan atas inisiatif dan biaya dari para caleg sendiri.

Dalam kampanye Pemilu 2009 benar-benar menjadi tantangan tersendiri bagi bagi para caleg. Harapan parpolnya untuk meraih suara sesuai target, telah dibebankan di pundak para calegnya. Dengan kata lain, caleg memiliki kewajiban personal untuk membesarkan nama parpolnya.

Perilaku Calon Konstituen
Para caleg dalam menggelar kampanye untuk sosialisasi profil dirinya, visi dan misi yang ditawarkan kepada calon konstituen harus teliti dalam memilih metode. Sebab, kampanye yang digelar sudah termasuk bagian dari bentuk komunikasi massa.

Tentunya para caleg dituntut memahami bahwa Komunikasi massa adalah suatu kegiatan penyampaian pesan, gagasan, informasi dari seseorang kepada sekelompok orang lainnya. Oleh karena itu dalam komunikasi massa, mengandung empat unsur penting. Yakni komunikator (caleg sebagai penyampai pesan), isi pesan, komunikan (komunitas sebagai sasaran komunikasi), dan media komunikasi.

Seringkali dalam praktek komunikasi terjadi hambatan yang disebabkan adanya beberapa faktor. Pertama, faktor motivasi. Yang harus dipahami dalam konteks ini adalah motivasi individu atau kelompok dapat mempengaruhi opini. Kepentingan individu atau kelompok akan mendorong orang atau kelompoknya untuk berbuat dan bersikap sesuai dengan kebutuhannya. Komunikasi yang tidak sesuai dengan motivasi orang atau kelompok (golongan) akan mendapat kesulitan-kesulitan.

Kedua, faktor prasangka. Bila seseorang sudah dihinggapi prasangka terhadap sesuatu masalah (golongan, suku, agama dan sebagainya) maka penilaiannya terhadap sesuatu hal tidak akan obyektif lagi. Penilaian orang atau kelompok tersebut tidak didasarkan pada rasio, tetapi hanya berdasarkan emosi, sentimen semata-mata. Pandangannya hanya diarahkan pada segi-segi negatifnya saja.

Ketiga, faktor pragmatisme komunikan. Massa yang hadir dalam forum kampanye politik yang digelar para caleg, telah mengalami perubahan sikap dalam memandang politik praktis.

Selama masa kampanye sosialisasi para caleg sudah ada pengalaman pahit yang dialami sebagai contoh empirik. Masyarakat perkotaan punya daya kritis yang lebih tajam dalam menyikapi janji-janji politik para caleg. Masalah ini yang sering menyulitkan para caleg dalam melakukan sosialisasi figurnya. Dan akhirnya gagal dalam kualitas komunikasi politik.

Lain lagi pengalaman para caleg yang kampanye sosialisasi di daerah pedesaan. Pemilih di wilayah ini juga menunjukkan perilaku pragmatis akibat pengalaman pilkades (pemilihan kepala desa), dan pilbup (pemilihan bupati). Sudah menjadi tradisi dalam pilkades selalu memberi imbalan uang kepada calon pemilih. Alasannya boleh dibilang logis, sebagai ganti pengahasilan pekerjaan harian yang mereka tinggalkan gara-gara kegiatan mencoblos di pilkades.

Sikap pragmatisme ini juga berlanjut ketika berlangsung pilbup secara langsung dipilih oleh rakyat di daerahnya. Uniknya, para calon yang berlaga dalam pilbup juga menuruti tradisi yang berlangsung seperti pilkades yakni money politics (politik uang).

Kini, ketika para caleg mendatangi rakyat di pedesaan tersebut terkena getahnya. Mereka “ditodong” untuk memberi imbalan uang kepada calon pemilih yang besarnya sama dengan uang yang pernah didapat saat pilkades dan pilbup. Para caleg baru sadar bahwa sebenarnya pilkades itu telah lama mentradisi sebagai “soko guru politik uang”.