MSI-UII.Net - 8/8/2005 A. Pendahuluan Sistem perbankan yang lemah merupakan satu indikator akan rapuhnya fundamental ekonomi Indonesia. Sistem perbankan adalah perantara yang berfungsi menyalurkan modal, pada pengeluaran investasi serta konsumsi masyarakat di dalam negeri. Kelemahan dalam sistem perbankan menimbulkan problematika beban ekonomi Nasional. Problematika beban Ekonomi Nasional Melahirkan keterbelakangan ekonomi rakyat, terutama rakyat kecil, di mana tanda-tandanya adalah keterbelakangan daerah pedesaan, rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar angkatan kerja Indonesia dan terbatasnya kemampuan pemerintah pusat dan daerah dalam menyediakan peluang kerja. Secara umum salah satu faktor struktural yang menjadi penyebab keterbelakangan ekonomi rakyat adalah meluasnya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme antara para birokrat, pengusaha besar dan para bankir di Indonesia dalam mengalokasikan Sumber Daya Ekonomi hanya untuk kalangan mereka sendiri. Dunia perbankan nasional dijadikan pintu dan sarana tempat pencurian dan perampokan uang rakyat dan negara secara sistematis, salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan kelemahan payung hukum dalam dunia perbankan dan rusaknya sistem politik nasional, yang selanjutnya hal ini melahirkan sebuah fenomena yang biasa disebut dengan kredit macet. Bagaimana pandangan Islam terhadap hutang dan tindakan terhadap orang-orang atau para pihak yang tidak memenuhi kewajibannya (bayar hutang). Hutang timbul apabila terjadi pinjam-meminjam uang atau transaksi yang tidak tunai. Islam menganjurkan sedapat mungkin untuk tidak berhutang, namun jika terpaksa berhutang diwajibkan menyegerakan membayar atau menepati akad atau janji yang telah disepakati. Dalam hukum Islam seseorang diwajibkan untuk menghormati dan mematuhi setiap perjanjian atau amanah yang dipercayakan kepadanya. Apabila seseorang telah mendapat kredit atau pembiayaan dari bank, maka ia telah mendapat amanah dari orang lain (deposan atau pemilik modal di bank). Jika debitor tersebut melakukan cidera janji, maka ia dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi. Terhadap orang yang melakukan wanprestasi, bisa dilakukan tindakan sesuai dengan kondisi dan alasannya. Pada zaman modern saat ini, dalam dunia perbankan Nasional muncul fenomena, sikap menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh debitur atau nasabah terhadap bank yang memberinya dana pinjaman pembiayaan. Akibatnya bank mengalami kerugian. Karena dalam melakukan penagihan tidak jarang bank mengeluarkan biaya, mulai dari masalah administrasi hingga biaya yang besar seperti menyewa pengacara. Fenomena ini memunculkan berbagai permintaan dari pengelola perbankan syari’ah akan pentingnya penanganan ganti rugi dan pengenaan (sanksi) ganti rugi atas biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penagihan kepada nasabah bembiayaan yang lalai dan nakal (menunda-nunda pembayaran). Berdasarkan fenomena tersebut, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa No. 17/DSN–MUI/IX/2000 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. B. Pembahasan 1. Sekilas tentang Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Sejarah mengenal ulama bukan semata sebagai sosok berilmu, melainkan juga sebagai penggerak dan motivator masyarakat. Kualitas keilmuwan para ulama telah mendorong mereka untuk aktif membimbing masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Terumuskannya sistem ekonomi Islam secara konseptual, termasuk sistem perbankan syari’ah adalah buah dari kerja keras para ulama. Para ulama yang berkompeten terhadap hukum-hukum syari’ah memiliki fungsi dan peran yang amat besar dalam perbankan syari’ah yaitu sebagai Dewan Pengawas Syari’ah dan Dewan Syari’ah Nasional. Tugas utama Dewan Pengawas Syari’ah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’ah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syari’ah bersifat khusus dan berbeda dari bank konvensional. Karena itu diperlukan garis panduan yang mengaturnya. Yang diberi wewenang menyusun garis panduan ini adalah Dewan Syari’ah Nasional. Garis panduan inilah yang menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syari’ah pada lembaga keuangan Syari’ah (LKS) dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya. 2. Fatwa Dewan Syariah Nasinal tentang sanksi atas nasabah mampu yang menuda-nunda pembayaran Di antara keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional adalah No. 17/DSN-MUI/IX/2000, tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, sebagaimana berikut: Pertama : Ketentuan Umum 1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan sengaja. 2. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi. 3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. 4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. 5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. 6. Dan yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial. Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah terjadi kesepakatan melalui musyawarah. Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak ditetapkannya dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: 1. Bahwa masyarakat banyak memerlukan pembiayaan dari Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) berdasarkan pada prinsip jual beli maupun akad lain yang pembayarannya kepada LKS dilakukan secara angsuran. 2. Bahwa nasabah mampu terkadang menunda-nunda kewajiban pembayarannya baik dalam akad jual beli maupun akad yang lain, pada waktu yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan di antara kedua belah pihak. 3. Bahwa masyarakat dalam hal ini pihak LKS, meminta fatwa kepada DSN tentang tindakan atau sanksi apakah yang dapat dilakukan terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda, pembayaran tersebut menurut Syari’ah Islami. 4. Bahwa oleh karena itu, DSN perlu menetapkan fatwa tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran menurut prinsip Syari’ah Islam, untuk dijadikan pedoman oleh LKS. 3. Dalil-dalil yang digunakan oleh Dewan Syari’ah Nasional dalam menetapkan fatwa tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. 1. Firman Allah QS. AL-Maidah (5) : 1: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu.….” 2. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dan ‘Amr bin ‘Auf. “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat degan syarat yang mengharapkan yang halal dan menghalalkan yang halal.” 3. Hadis Nabi riwayat jama’ah (Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’I, Abu Daud, Tirmidzi, Malik, Darami dari Abu Hurairah, Ibn Majah dan Abu Hurairah dan Ibn Umar). “menunda-nunda (pembayaran) dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman….” 4. Hadis Nabi riwayat Nasa’I, M. Abu dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Syraid bin Suwaid : “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” 5. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubaidah bin Shamit, riwayat Ahmad daria Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya : “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” 6. Kaidah Fiqih : “Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” “bahaya (beban berat) harus dihilangkan.” 4. Telaah terhadap fatwa Dewan Syari’ah Nasional tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Berdasarkan fatwa ini, para nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dapat dikenakan sanksi yang didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bersifat menyerahkan dan demi perbaikan serta bertujuan agar nasabahnya lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. Selama ini bila nasabah lalai melunasi pembiayaan bank mereka dikenakan denda. Denda tersebut ditujukan guna mendisplinkan nasabah dan bertanggungjawab atas janji yang dibuatnya kepada bank. Lalu dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial, karena sifatnya, denda yang dibayar nasabah tidak boleh dijadikan sebagaimana pendapatan, akan tetapi dimasukkan pada dana sosial yang akan disalurkan pada pembiayaan dengan aqad Al-Qardu al Hasan. Sementara itu, dalam sistem bank konvensional selama ini, bila nasabah lalai melunasi hutangnya pada bank atau lalai dalam memenuhi kewajibannya terhadap bank pada waktu yang telah ditentukan, mereka dikenakan denda. Dan denda tersebut dapat diklaim sebagai pendapatan oleh pihak bank. Sedangkan dalam sistem perbankan syari’ah denda tersebut tidak dapat diklaim sebagai pendapatan, bahkan dana yang didapat dari denda tersebut harus dimasukkan pada dana sosial yang akan disalurkan pada pembiayaan dengan akad al-Qardu al-Hasan. Perbedaan inilah yang terjadi antara bank syari’ah dan bank konvensional. Dalam sistem konvensional denda biasanya didasarkan pada teori Time value of money, yaitu teori yang menyatakan bahwa uang dengan jumlah yang sama sekarang atau saat ini adalah lebih bernilai dibandingkan dengan yang yang saat nanti. Dalam ekonomi konvensional time value of money biasanya juga didefinisikan sebagai “a dollar is worth more than a dollat in the future because a dollar today can be invested to get a return.” Namun jika time value of money ini hanya masalah keuntungan dan resiko, maka Islam menolaknya, hal ini disebabkan oleh masalah ketidakpastian didunia ini, juga sifat seluruh manusia dan tidak seorang pun berhak mengecualikan dirinya dari hal itu dengan sebesar biaya apapun. Namun selanjutnya ternyata yang menjadi masalah adalah biaya dalam proses penagihan terhadap nasabah yang mampu tapi menunda-nunda pembayaran. Dalam sistem bank konvensional biaya yang dikeluarkan dalam proses penagihan sebagian dapat ditutupi dari dana denda, misalnya biaya yang relatif kecil seperti biaya administrasi hingga biaya yang besar seperti menyewa pengacara, jika kasusnya serius. Sementara itu dalam sistem bank syari’ah biaya yang dikeluarkan dalam proses penagihan tidak dapat ditutupi oleh dana denda, karena dana tersebut menjadi dana sosial, sehingga hal ini menjadi beban tersendiri bagi pihak bank Syari’ah dan hal ini dirasa kurang adil (bagi pihak bank syari’ah). Sekilas bila dicermati pasal 4, 5 dan 6 dari ketentuan umum dalam fatwa DSN tentang sanksi atas masalah mampu yang menunda-nunda pembayaran, tampak bahwa pihak bank syari’ah kurang diuntungkan dalam hal pembiayaan terhadap proses penagihan, bahkan cenderung menjadi rugi. Namun saat ini sepertinya kekurangan yang ada dalam fatwa tentang sanksi atas masalah mampu menunda-nunda pembayaran ini dapat diatasi dengan telaah terbitnya fatwa DSN yang lain, yaitu fatwa tentang ta’widh yaitu fatwa ganti rugi dalam hal ini adalah ganti rugi untuk biaya yang dikeluarkan dalam proses penagihan. Akan tetapi syarat pengenaan biaya ganti rugi adalah adanya kerugian riil yang diderita bank Syari’ah. Dan angka kerugiannya harus nyata, jelas besarannya dan bisa dihitung serta bukan semata berdasarkan persentase. Selain itu, kerugian hanya dibebankan kepada nasabah yang nakal dan lalai membayar, bukan karena force majeour. Jika kejadiannya adalah force majeour maka tidak perlu ada ganti rugi. C. Kesimpulan Dari uraian dan telaah terhadap fatwa tersebut pada bagian B dapat diambil kesimpulan: 1. Bahwa sanksi bagi nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran tetap berlaku. Sanksi ini didasarkan pada prinsip ta’zir yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. 2. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan duibuat saat akad ditandatangani. Dana yang didapat dari denda itu tidak dapat diklaim sebagai pendapatan bank syari’ah tapi harus dimasukkan pada dana sosial yang selanjutnya akan disalurkan pada pembiayaan dengan akad al-Qardu al-Hasan. 3. Jika dalam proses penagihan bank syari’ah ternyata mengalami kerugian, maka bank syari’ah dapat mengenakan biaya ganti rugi pada nasabah dengan sarat perhitungannya bukan berdasar pesentase atau time value of money melainkan biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh bank akibat kelalaian nasabah, dan hal ini telah diatur dalam fatwa DSN yang lain yaitu fatwa tentang ta’widh atau ganti rugi. * Penulis adalah Mahasiswa MSI PPs UII Konsentrasi Ekonomi Islam. Artikel ini ditulis dalam rangka tugas matakuliah Fiqh Muamalah.
|