Memilih Teknologi Perbankan Syariah

Oleh Ivan Irawan

Saat ini kita adalah saksi bagi pertumbuhan pesat perbankan syariah di Indonesia. Berbagai kemudahan melalui regulasi telah diberikan oleh Bank Indonesia agar semakin banyak tersedia layanan perbankan syariah di Indonesia. Iklim yang semakin kondusif ini seharusnya mampu mendorong pelaku bisnis perbankan di Indonesia yang konon termasuk paling besar di dunia dalam hal jumlah usaha dalam satu negara. Jika ratusan bank umum yang ada di Indonesia membuka Unit Usaha Syariah (UUS), maka masyarakat akan semakin mudah mendapatkan layanan perbankan syariah.

Sistem perbankan syariah sesungguhnya tidak terbatas pasarnya pada nasabah yang memiliki ikatan emosional keagamaan (masyarakat muslim). Layanan perbankan syariah dapat dinikmati oleh siapa saya tidak bergantung agama yang dianut sepanjang bersedia mengikuti cara berbisnis yang diperbolehkan secara syariah. Masyarakat membutuhkan lembaga keuangan yang kuat, transparan, adil dan berkomitmen membantu meningkatkan perekonomian dan usaha nasabah.

Pengalaman saya ikut dalam kegiatan konversi Bank Umum menjadi Bank Umum Syariah membuktikan bahwa dengan edukasi dan cara pendekatan yang tepat, masyarakat non-muslim tidak mengalami masalah melakukan kegiatan perbankan secara syariah. Bahkan pada salah satu cabang yang dikonversi dari Bank Umum, sampai saat ini lebih dari 70% nasabahnya adalah non-muslim. Tidak ditemui kendala berarti dalam proses edukasi dan retaining nasabah, salah satunya terlebih karena strategi sederhana namun jitu dengan mengganti nama produk yang berbahasa Arab dengan nama produk yang lebih mudah dimengerti oleh nasabah non-muslim.

Kenyataannya ada beberapa hal yang menjadi penghambat bagi pelaku industri keuangan untuk sesegera mungkin masuk ke bisnis perbankan syariah. Faktor langka dan terbatasnya Sumber Daya Insani yang mengerti betul perbankan syariah menjadi salah satunya. Faktor penghambat lainnya adalah Teknologi Informasi (TI) Perbankan Syariah.

Bagi yang pernah mendalami perbankan konvensional dan syariah paham bahwa perbedaan sistem konvensional dan syariah bukan hanya pada kulit luarnya saja, namun justru di inti bisnis prosesnya. Syariah atau tidaknya transaksi sangat terkait dengan esensi dari model transaksinya. Implikasinya sistem TI syariah haruslah benar-benar menyentuh sampa ke inti prosesnya, mulai dari tata cara transaksi dan akad sampai pembukuan. Jadi membangun sistem TI syariah tidaklah cukup dengan melakukan tambal sulam dari sistem TI bank konvensional.

Tambahan lainnya akad/bisnis proses dalam perbankan syariah lebih variatif daripada pada perbankan konvensional. Jika di dalam sistem TI bank konvensional biasanya mengenal hanya dua sampai tiga bisnis proses di pinjaman (yang dapat dikembangkan menjadi berbagai produk derivatifnya), maka di dalam sistem TI bank syariah bisa jadi mengenal lebih dari 10 jenis bisnis proses di pembiayaan (belum termasuk produk derivatifnya. Artinya sistem TI syariah yang baik seharusnya merupakan proses re-engineering TI perbankan mulai dari dasar/inti (start from scratch).

Sistem perbankan syariah adalah unik untuk setiap negara. Kita dapat melihat perbedaan antara sistem perbankan syariah di Indonesia dengan di Malaysia atau dengan di daerah Timur Tengah. Setiap negara memiliki lembaga semacam Dewan Syariah Nasional sebagai penjaga gawang bagi kemurnian pelaksanaan perbankan syariah. Hal ini menyebabkan mudah menerapkan suatu sistem TI syariah di suatu negara meskipun sistem tersebut telah terbukti sukses di negara lainnya. Peraturan dan penjaga gawangnya berbeda.

Internet Memberi Nilai Tambah Bagi Pelaku UKM

Oleh ISM

Internet dan teknologi informasi bisa berperan penting dalam memajukan usaha kecil/mikro (UKM). Ia dapat meningkatkan nilai tambah bahkan dapat digunakan sebagai medium untuk memeratakan distribusi pendapatan.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi yang menutup rangkaian acaraperesmian BMT Niriah STAIM di Aula Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) di Cikokol Tangerang, Ahad (10/2/2008).

Diskusi bertema "Pemberdayaan Usaha Kecil/Mikro Dengan Dukungan Teknologi Informasi dan Internet" tersebut menampilkan pembicara M. Gunawan Yasni dari Dewan Syariah Nasional MUI, pakar Internet Strategi Nukman Luthfie, Direktur Utama OASIS TNG Miftah Fauzy dan Ahmad Badawi mewakili pimpinan Muhammadiyah kota Tangerang.

Internet, menurut Nukman, dapat memberikan nilai tambah signifikan bagi produk yang dihasilkan oleh UKM. "Sayangnya peningkan value tersebut tidak serta merta dinikmati secara merata. Dengan kata lain hanya dinikmati oleh pedagang dan perantara, sementara produsennya tidak. Disini terjadi ketidakadilan," katanya.

Nukman mengisahkan nasib perajin di Yogyakarta yang menjual karyanya kepada tengkulak di Bali dengan harga seperlima dari harga jual setelah produk tersebut diekspor atau dijajakan via Internet. Walau harganya berlipat, tutur Nukman, margin tersebut praktis hanya dinikmati oleh pedagang atau tengkulak.

"Oleh karenanya jika para pelaku usaha mikro dan kecil memiliki sendiri jaringan distribusi yang antara lain dibangun dengan berhimpun dalam jaringan kerjasama antar BMT, maka sebagai produsen ia dapat turut menikmati nilai tambah yang diciptakan melalui penggunaan teknologi tersebut" ujar Nukman, menjelaskan tautan antara teknologi informasi dan internet dengan keberadaan BMT atau baitul maal wa tamwil.

Sementara itu, Gunawan Yasni berpendapat kehadiran teknologi informasi dan Internet dapat menjadi wasilah untuk memisahkan yang halal dan haram. "Ini misalnya terjadi di perbankan yang menjalankan dual system, konvensional dan syariah, melalui office channeling," ujarnya.

Ia mengatakan, kendati transaksi berlangsung di tempat atau kantor bank konvensional, namun karena sistem teknologi informasi yang digunakan telah sesuai syariah maka transaksi yang terjadi tidak tercampur dengan yang ribawi.

Ustadz muda ini menegaskan bahwa pengkhidmatan pakar teknologi informasi dan Internet dalam mengembangkan ekonomi syariah bisa dikategorikan sebagai perbuatan mulia. "Siapa yang membela agama Allah, maka Allah akan meneguhkan kedudukannya, dan ia akan mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat," ujarnya seraya mengutip mengutip Alquran surat Muhammad ayat 7.

Dewan Standard Akuntansi Terbitkan Enam PSAK

Oleh ISM

Komite Akuntansi Syariah Dewan Standar Akuntasi Keuangan (KAS DSAK) menerbitkan enam Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) bagi seluruh lembaga keuangan syariah (LKS). PSAK yang diterbitkan merupakan standard akuntansi yang mengatur seluruh transaksi keuangan syariah dari berbagai LKS.

PSAK tersebut adalah PSAK No 101 tentang penyajian laporan keuangan syariah, PSAK No 102 tentang akuntansi Murabahah (Jual beli), PSAK No 103 tentang Akuntansi Salam, PSAK No 104 tentang Akuntansi Isthisna, PSAK No 105 tentang Akuntansi Mudarabah (Bagi hasil), dan PSAK No 106 tentang Akuntansi Musyarakah (Kemitraan).

"Mulai berlaku efektif 1 Januari 2008," jelas Ketua KAS DSAK, M Yusuf Wibisana dalam seminar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) yang bertajuk "Dampak Penerbitan PSAK dalam Transaksi Keuangan Syariah", di Jakarta, Kamis (6/12/2007).

Dalam penyusunannya KAS DSAK mendasarkan pada Pernyataan Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) Bank Indonesia dan fatwa akad keuangan syariah yang diterbitkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI).

Mengomentari terbitnya enam PSAK tersebut, anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), Gunawan Yasni yang menjadi moderator dalam seminar tersebut, berpendapat terdapat satu permasalahan dalam menerapkan SAK Murabahah (Jual beli) Nomor 102.

SAK tersebut menurutnya berpotensi menyebabkan berlakunya pajak ganda dalam transaksi pembiayaan murabahah perbankan syariah, karena SAK mewajibkan pencatatan aliran persediaan masuk dan keluar dalam pembukuan bank syariah. Dalam hal ini bank syariah dapat dianggap sebagai perusahaan perdagangan dan bukan bank sehingga pajak ganda berlaku.

"Padahal, berdasarkan PAPSI yang disusun BI 2003 lalu, dalam transaksi murabahah, bank syariah dimungkinkan langsung mencatatnya sebagai piutang murabahah," katanya.

Gunawan menyebutkan, bila pajak ganda berlaku, itu dapat menjadi kendala bagi pengembangan industri perbankan syariah. Untuk itu, pemerintah dan DPR perlu didorong agar segera mengamendemen UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sehingga transaksi keuangan murabahah dengan pola pencatatan berdasarkan SAK 102 tidak mewajibkan pajak ganda.

Sementara itu, Direktur Bank Syariah Mandiri (BSM), Hanawijaya tidak mempersalahkan penerbitan SAK Murabahah dimana dalam standar akuntansi tersebut diwajibkan adanya pencatatan aliran persediaan masuk dan keluar. Penyusunan SAK tersebut didasarkan pada prinsip fiqh murabah. Karena itu, SAK Murabahah Nomor 102 tidak perlu dirubah.

"Saya kira tidak ada masalah dengan penerbitan SAK murabahah yang mengatur tentang inventory (persediaan) masuk dan keluar karena memang penyusunan SAK tersebut berdasarkan rukun Murabahah," ujarnya.

Dengan demikian, yang diperlukan bagi perkembangan industri perbankan syariah terkait SAK Murabahah, adalah komitmen pemerintah dalam mendukung perkembangan industri dengan segera menetapkan pembiayaan murabahah tidak sebagai transaksi jual beli, tapi sebagai transaksi intermediasi perbankan. Karena itu, pembiayaan murabahah hanya boleh dikenakan PPN satu kali.

Bayar Tagihan, Bayar Zakat, Lewat Ponsel

Oleh BHS

Tabungan syariah ternyata tak kalah canggih dengan tabungan konvensional. Tabungan Berencana Bank Syariah Mandiri (BSM), contohnya, kini tak hanya bisa diakses lewat internet. Tapi juga bisa melalui ponsel.

Layanan mobile banking BSM ini, menurut Yuslam Fauzi, Direktur Utama Bank Syariah Mandiri, ditujukan memberikan berbagai kemudahan bagi nasabah. BSM Mobile merupakan produk layanan perbankan berbasis teknologi selular untuk transaksi online dengan kode akses untuk semua operator 3339.

"Manfaatnya untuk pengecekan saldo, pemindahbukuan antar rekening BSM dan rekening lain yang terdaftar di BSM, serta membayar tagihan telepon. Fasilitas ini dapat digunakan semua operator telepon seluler," ujar Yuslam, di Jakarta, baru-baru ini.

Untuk mengembangkan layanan mobile banking ini, BSM menggandeng PT Sapua Konsultindo. Sapua bertugas mengembangkan aplikasi mobile berbasis Java atau Java Based Mobile Banking Application (mBSM).

Menurut siara pers yang dirilis Sapua dalam websitenya. Lewat aplikasi ini pengguna mobile banking BSM bisa mengganti PIN. Mereka juga bisa membayar aneka macam tagihan seperti internet, PLN, telepon, telepon seluler atau membeli voucher ponsel. Layanan itu juga bisa digunakan untuk membayar zakat. Layanan ini dikembangkan Sapua sejak April 2006 dan mulai berfungsi penuh pada kuartal akhir 2006.

Tabungan Berencana BSM sendiri adalah tabungan yang menggunakan prinsip Mudharabah Muthlaqoh dengan periode kontrak tabungan 1-10 tahun.

"Mudharabah Muthlaqoh merupakan kerja sama antar kedua belah pihak. Pihak pertama menyediakan modal dan memberikan kewenangan penuh kepada pihak bank dalam menentukan jenis dan tempat investasi. Sedangkan keuntungan dibagi menurut kesepakatan di muka," jelasnya.

Produk BSM itu bekerja sama dengan Bank Mandiri selaku induk perusahaan serta dengan mitra strategis lain, seperti PT Asuransi Panin Life Cabang Syariah. "Panin Life memberikan perlindungan asuransi kepada nasabah Tabungan Berencana BSM," tutur dia.

Konfigurasi Sistem Perbankan Syariah Malaysia

Struktur regulasi yang mengatur perbankan syariah di Malaysia cukup menarik untuk dicermati, karena mengawinkan sistem hukum common law dengan sistem hukum Islam secara komperehensif. Malaysia telah menyiapkan berbagai legal frame work bagi perkembangan perbankan syariah secara komperehensif, selain diatur secara mandiri perbankan syariah telah didukung oleh instrumen pasar modal syariah, asuransi syariah serta berbagai infrastruktur hukum syariah yang lainnya.

Malaysia melakukan pemisahan peraturan perundang-undangan mengenai perbankan syariah dari sistem perbankan konvensional secara bertahap dan dari satu sisi ke sisi yang lain. Pemisahan tersebut dimulai dengan dikeluarkannya Islamic Bank Act (IBA) yang berlaku pada 7 April 1983, pada undang-undang tersebut Bank Negara Malaysia diberikan kekuasaan untuk melakukan supervisi kepada bank syariah. Sisi lain yang digarap adalah pengaturan mengenai investasi yang dilakukan dengan mengundangkan Government Investment Act 1983, pada saat tersebut pemerintah Malaysia mengeluarkan Government Investment Issue (GII), yaitu surat berharga pemerintah yang dikelola menggunakan prinsip-prinsip Syariah. Dalam hal ini GII dianggap sama dengan aset lancar, Bank Islam dapat melakukan penanaman modal pada GII agar mendapatkan bantuan pinjaman likuiditas dari pemerintah.

Untuk dapat memahami konfigurasi sistem, hukum perbankan syariah di Malaysia, berikut akan diuraikan sejarah perkembangan perbankan syariah di Malaysia,legal framework perbankan syariah, sub sistem hukum perbankan syariah, serta pemenuhan aspek syariah dalam kegiatan perbankan syariah di Malaysia. Dengan menggunakan beberapa tinjauan yang lebih spesifik tersebut, diharapkan akan diperoleh gambaran yang proporsial dan menyeluruh mengenai sistem hukum perbankan syariah yang ada di Malaysia.

INSTITUSI PERBANKAN DI INDONESIA

Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.

Berdasarkan undang-undang, struktur perbankan di Indonesia, terdiri atas bank umum dan BPR. Perbedaan utama bank umum dan BPR adalah dalam hal kegiatan operasionalnya. BPR tidak dapat menciptakan uang giral, dan memiliki jangkauan dan kegiatan operasional yang terbatas. Selanjutnya, dalam kegiatan usahanya dianut dual bank system, yaitu bank umum dapat melaksanakan kegiatan usaha bank konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah. Sementara prinsip kegiatan BPR dibatasi pada hanya dapat melakukan kegiatan usaha bank konvensional atau berdasarkan prinsip syariah

Rekapitulasi Institusi Perbankan di Indonesia Desember 2008

SEKILAS PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.

Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.

Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.


Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.

Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat nasional.

“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.

Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.

Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.

Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah
Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank.

Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.

Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.

Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.

Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.

Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan

Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Lembaga Keuangan Syariah Dalam Presfektif Ekonomi Rumah Tangga

oleh : Ruslan Abdul Ghafur

MSI-UII.Net - 7/8/2008

Penulis adalah alumni Ekonomi Islam MSI UII

A. Pendahuluan

Keluarga atau rumah tangga sebagaimana pendapat Robert A. Gordon (1976) merupakan elemen (unit) terkecil dari suatu peroses ekonomi setelah individu, yang juga merupakan tempat berkumpulnya individu-individu yang memiliki kebutuhan terhadap tersedianya barang dan jasa guna mencukupi kebutuhan hidup yang ada. Sedangkan kumpulan keluarga akan membentuk suatu masyarakat yang tentunya akan terdiri dari lebih banyak individu-individu yang secara jelas akan memiliki kebutuhan hidup dan sarana untuk memenuhinya yang semakin beragam serta berbeda antara satu dan yang lainnya.

Permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat pengangguran cukup tinggi yakni mencapai 9,86% pada 2004, dari 216.415.100 dan pada tahun 2005 mencapai 218.141.800 jiwa penduduk Indonesia, berdampak pada tingginya tingkat penduduk miskin yang berkisar 16,7% pada 2004 dan 18,7% pada 2005, ialah bagaimana memberikan lapangan pekerjaan dengan tinggkat penghasilan yang memadai kepada mereka, dan dengan pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut, mereka mampu dan dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang ditanggungnya secara wajar.[1]

Mengutip dari pendapat Bung Hatta, yang menyatakan bahwa perjuangan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak lain semata-mata untuk menuju tingkat kemakmuran (kesejahteraan) yang diharapkan, yang barang tentu secara jelas untuk mencapainya terdapat berbagai masalah serta hambatan yang harus dihadapi.[2] Untuk itu, pemerintah dalam hal ini, dengan amanat UUD yang diemban dan selaku pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dituntut untuk berusaha menciptakan kemakmuran di masyarakat dengan menempuh berbagai cara, yang diantaranya dengan meminta lembaga keuangan untuk berperan aktif dalam membantu perkembangan ekonomi masyarakat. Terasa janggal kiranya jika peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarkat tersebut, tidak dihubungkan dengan peningkatan dan upaya memenuhi kebutuhan pada sektor rumah tangga sebagai salah satu elemen dasar dari terbentuknya masyarakat yang berkemakmuran.

Disebabkan begitu pentingnya keberadaan ekonomi rumah tangga dalam mencipatakan kesejahteraan masyarakat dan peran lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi yang sangat diharapakan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat, maka untuk itu, pada bab ini akan mencoba untuk membahas faktor-faktor yang mempengaruhi ekonomi dalam rumah tangga baik dari sumber- sumber pendapatan, maupun macam-macam pengeluaran serta kebutuhan yang terdapat dalam rumah tangga, dan menghubungkannya dengan lembaga keuangan syariah, khususnya perbankan dan pegadaian dalam menjawab berbagai kebutuhan yang ada di masyarakat.

B. Ekonomi Rumah Tangga Suatu Tinjauan Sosio Ekonomi

Berbicara mengenai ekonomi rumah tangga, berarti mau atau tidak harus juga membicarakan kebutuhan yang terdapat dalam suatu keluarga, meskipun menurut Duncan Ironmonger (1989) bahwa kajian mengenai ekonomi rumah tangga mempunyai fokus tersendiri yang berbeda dengan kajian dan penelitian yang terfokus pada keluarga, yang lebih cenderung pada kajian psikologi dan sosiologi. Sebaliknya sependapat dengan Frank Maas, yang tidak begitu setuju dalam membedakan kedua hal tersebut secara kaku, karena ekonomi rumah tangga pada dasarnya sangat berhubungan dengan keluarga itu sendiri, dan segala aktifitas ekonomi dalam suatu rumah tangga semata-mata sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan yang terdapat dalam suatu keluarga.[3]

Untuk lebih jauh melihat bagaimana kondisi ekonomi rumah tangga pada masyarakat Indonesia, perlu rasanya melihat kondisi perekonomian Indonesia yang sejak kerisis keuangan (moneter) yang melanda kawasan Asia Tenggara pada April 1997 dan berlahan-lahan merambah masuk ke Indonesia pada Desember 1997 dan Januari 1998, telah membawa pengaruh cukup besar pada sektor ekonomi rumah tangga, terutama yang disebabkan oleh naik dan turunnya nilai tukar rupiah, yang berakibat pada naiknya berbagai macam harga-harga barang yang cukup derastis dan tidak menentu, yang mengalami kenaikan tertinggi pada Januari 1998 hingga Maret 1999. Kenaikan harga barang tersebut, tak terkecuali juga menimpa pada naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh keluarga dan masyarakat secara luas.[4]

Kenaikan harga-harga barang yang menggila, yang tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan riil pada keuangan keluarga, dan bahkan kondisi krisis yang menimpa Indonesia semakin bertambah parah, dengan terus berlanjutnya krisis moneter menjadi krisis ekonomi dan kerisi sosial politik yang berlanjut pada krisis multidimensi, yang berakibat pada menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi, dan pada saat yang sama terjadi pula banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor industri yang mengalami kebangkrutan, dan penghasilan para petani yang ikut menurun pada sektor pertanian, yang disebabkan oleh tingginya biaya produksi yang dibutuhkan. Beberapa persoalan tersebut, jelas membawa dampak yang cukup besar bagi menurunnya tingkat kemampuan rumah tangga para karyawan, pekerja dan petani dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari yang secara langsung juga berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan hidup di masyarakat.[5]

Pada kenyataannya, dan perlu digarisbawahi yakni, jika tingkat pendapatan rumah tangga rendah dan sebaliknya, biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin meningkat, dan tak jarang pada saat yang bersamaan jumlah anggota rumah tangga yang ditanggung malah semakin bertambah, akan membawa akibat pada terjadinya defisit keuangan rumah tangga, yang jika ini terjadi maka secara otomatis sebagian besar masyarakat akan lebih banyak yang mencari pinjaman guna menutupi kebutuhan, dibanding dengan mensisihkan dana untuk menabung atau bahkan berinvestasi yang jelas bertujuan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan (konsumsi) disaat yang akan datang.[6]

Fenomena pendapatan penduduk perkotaan dan golongan berpenghasilan rendah (miskin) yang ada di masyarkat umumnya, dalam mempertahankan hidup keluarga dari cengkraman keterbatasan kemampuan ekonomi, berusaha memperoleh pendapatan dari berbagai macam sumber usaha, yang diantaranya yakni, dengan bekerja (sebagai karyawan, buruh, pegawai, tani dll), usaha yang dilakukan sendiri (berdagang kecil-kecilan dll), dari kekayaan yang dimiliki, serta pendapatan dari sektor subsisten (usaha-usaha tambahan lainnya).[7] Dari sekian banyaknya usaha yang dilakukan tersebut, pemasukan keuangan (pendapatan) yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga, ternyata tetap mengandalkan pada sumber pendapatan utama, yakni yang berasal dari kerja yang dilakukan, sedangkan pendapatan dari usaha-usaha lain semata-mata sebagai tambahan pendapatan, yang tak lain bertujuan untuk mencukupi kebutuhan keluarga karena tidak mungkin rumah tangga yang memiliki penghasilan rendah dapat memenuhi kebutuhan hidup secara menyeluruh hanya dari pendapatan utama tanpa melakukan pekerjaan atau usaha tambahan.[8]

Pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga pada dasarnya mencakup terpenuhinya kebutuhan minimum, yakni berupa kebutuan terhadap pangan, sandang, papan dan kesehatan secara wajar, bahkan pada rumah tangga yang memiliki pendapatan terlampau kecil, maka pemenuhan kebutuhan terbatas hanya mencakup kebutuhan yang sangat minim, yakni berupa makanan dan pakaian, dan sangat sedikit sekali yang memberi kelonggaran terhadap pengeluaran bagi kebutuhan lainnya.[9]

Pola pengeluaran rumah tangga masyarakat dengan realitas jumlah kebutuhan yang cukup besar, serta pendapatan yang relatif kecil, sering menunjukkan adanya ketidak harmonisan dalam tatanan ekonomi rumah tangga yakni antara besarnya jumlah pendapatan yang diterima dan jumlah pengeluaran yang ada, sehingga tak jarang ekonomi rumah tangga cenderung mengalami kebangkrutan dan terpaksa masuk dalam mekanisme pinjam-meminjam, hutang-piutang maupun kredit.

Masuknya ekonomi rumah tangga dalam mekanisme tersebut, akan lebih banyak terjadi ketika suatu keluarga dihadapkan pada kebutuhan keuangan secara mendesak dan dalam jumlah yang relatif cukup besar, seperti disaat menghadapi peristiwa kelahiran, khitanan, pendidikan anak, perkawinan dan kematian, yang jika dilihat secara koderati kondisi-kondisi tersebut merupakan kebutuan alamiah dari rotasi kehidupan manusia sebagai individu, keluarga dan masyarakat.

Ironis memang apa yang dihadapai kemudian, meskipun dalam kehidupan masyarakat terdapat norma-norma untuk saling bantu-membantu yang tercermin dalam proses gotong royong dan pinjam-meminjam, yang cenderung didasarkan pada sikap saling percaya-mempercayai antara pihak yang meminjam dan yang memberi pinjaman, tetapi akankah hal ini, memberikan solusi terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mendesak ekonomi rumah tangga tersebut? Bahkan akan lebih mengerikan lagi, jika disaat kebutuhan dana yang cukup besar yang dialami ekonomi rumah tangga yang hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan alamiah di atas, dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang sengaja ingin mengambil keuntungan di tengah-tengah kesulitan ekonomi yang menimpa, sehingga berakibat pada terikatnya ekonomi rumah tangga dalam mekanisme hutang-piutang yang semakin hari semakin membesar dan mencekik, yang barang tentu dijalankan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan tentu tidak perduli oleh kondisi yang ada.

Sebahagian masyarakat yang sadar akan hal ini, telah mempersiapkan kemungkinan-kemungkina tersebut dengan sedikit demi sedikit menabung dan berinvestasi baik dengan cara memiliki tabungan maupun membeli barang-barang berharga yang diharapkan dapat dijual atau digadaikan jika kebutuhan itu datang, tetapi sebahagian yang lain, yang tidak bisa menabung dan berinvestasi kecil-kecilan akan tetap mengandalkan pinjaman dan kredit, yang merupakan jalan satu-satunya guna mencukupi kebutuhan tersebut (M. Nassir Hawy, 1982, hal.72).

Tak dapat disangkal bahwa kebutuhan terhadap pinjam-meninjam serta peroses gadai-menggadai dalam kehidupan rumah tangga mengambil peran penting dalam perputaran ekonomi rumah tangga, dan itu berarti kebutuahan terhadap peran perbankan dan lembaga gadai dalam melindungi masyarkat sangat diperlukan guna membantu dan memberikan solusi terhadap permasalahan-permaslahan ekonomi rumah tangga yang dihadapi.

Bahkan bagi sebahagian masyarakat yang telah dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya sehari-hari secara wajar, baik berupa pemenuhan terhadap kebutuhan pangan, sandang, papan, maupun kesehatan, maka orientasi pemenuhan kebutuhannya akan beranjak pada tahap pemenuhan kebutuhan batiniah seperti rekreasi dan hiburan, sedangkan bagi masyarakat Indonesia yang sebahagian besar muslim terdapat kebutuhan-kebutuhan lain yang juga perlu dan bahkan wajib dipenuhi jika syarat-syarat yang ada telah terpenuhi, yakni kebutuhan rohaniyah yang bernilai ibadah, yang datang terutama ketika kebutuhan hidup sehari-hari bagi diri dan keluarga yang ditanggung telah terpenuhi. Kebutuhan bagi seorang muslim untuk membayar kewajiban zakat, beribadah Haji, dan memberikan sadaqah, infak serta mempersiapkan harta wakaf dan bahkan waris, akan segera datang menghampiri.

Nampak semakin jelas bahwa peran perbankan dan pegadaian pada khususnya, dan lembaga keuangan syariah pada umumnya, bagi ekonomi rumah tangga memiliki posisi yang cukup penting guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada, baik yang bersifat fisik yang menjadi kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan dan kesehatan) maupun kebutuhan rohani yang tak jarang dapat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan di masyarakat. Dan jika lembaga keuangan syariah dalam hal ini dapat melihat dan membaca fenomena begitu alamiah tersebut dengan jeli, tak diragukan lagi bahwa akan terbuka pasar yang cukup baik bagi peroduk-produk yang benar-benar dibutuhkan masyarakat, dengan konsumen yang nyaris sama dengan jumlah penduduk itu sendiri banyaknya.

C. Peran Lembaga Perbankan dan Pegadaian Syariah pada Ekonomi Rumah Tangga

Kondisi ekonomi rumah tangga pada masyarakat Indonesia yang tergambar secara jelas pada paparan di atas, merupakan bagian penting yang amat perlu untuk diperhatikan sebagai suatu peroses guna terciptanya masyarakat yang sejahtera seperti apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa dan masyarakat pada umumnya, dan hal ini membutuhkan peran dan kerja sama banyak pihak, yang secara bersama-sama baik pemerintah selaku pengemban amanat UUD maupun institusi-institusi yang terdapat di masyarakat untuk dapat saling bekerjasama dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Lembaga keuangan syariah pada umumnya, perbankan serta pegadaian syariah khususnya, sangat wajar jika dalam peroses tersebut dapat mengambil bagian dan berperan aktif dalam meningkatkan kesejahteraan di masyarakat, meskipun hanya dengan berupaya untuk memberikan dan menyediakan produk-produk yang memang dibutuhkan oleh keluarga dan bahkan masyarakat secara luas. Sangat disayangkan jika lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi yang sungguh berkerja dengan mengandalkan kondisi kelebihan dan kekurangan terhadap faktor ekonomis yang ada di masyarakat, tidak bisa membaca dengan cermat dan mengambil bagian dalam menghubungkan serta mempertemukan kedua kondisi tersebut, agar permasalahan ekonomi di masyarakat serta rumah tangga dapat terselesaikan, dan lebih-lebih jika ketidak cermatan tersebut terjadi pada lembaga keuangan syariah yang non ribawi yang diharapkan konsen terhadap kondisi masyarakat.

Agar tidak terjadi kesenjangan yang sangat jauh dari apa yang ditawarkan dalam produk perbankan dan pegadaian syariah dengan kebutuhan yang ada di dalam rumah tangga dan masyarakat, maka perlu rasanya untuk menganalisa produk-produk kedua lembaga keuangan syariah tersebut terhadap kesesuaiannya dengan apa-apa yang memang dibutuhkan ekonomi rumah tangga dan masyarakat secara riil di lapangan.

Secara teori akad-akad Muamalah yang bersumber pada ajaran syar’i memiliki kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat atau rumah tangga yang ada, dan bahkan dapat dikatakan sangat memperhatikan kebutuhan ekonomi mereka, hal ini ditunjukkan dengan keberpihakan terhadap pemberdayaan ekonomi kecil (keluarga) yang berdasar pada keuangan terbatas, dengan adanya akad-akad yang memperhatiakan nilai-nilai kerjasama dan transaksi-transaksi yang tidak tunai, seperti yang terdapat pada akad Mudharabah dan Musyarakah (kerjasama usaha), Murabbahah (jual beli dengan espektasi (murk up) harga yang disepakati), Ijarah (sewa-menyewa), Muzaraah dan Musaqah (kerjasama pertanian), Salam (pesan), Qardh (pinjam-meminjam) dan banyak lagi akad-akad lainnya yang sangat konsen terhadap ekonomi kecil tersebut (lihat Bab II).

Keberpihakan akad-akad muamalah di atas, bukan dalam artian tidak memberdayakan ekonomi rumah tangga, bahkan akad-akad tersebut memacu ekonomi rumah tangga yang memiliki keterbatasan dalam kepemilikan dana (modal), untuk dapat terus berusaha, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa rata-rata penduduk miskin untuk dapat mencukupui kebutuhan-kebutuhan rumah tangganya, mereka akan berusaha diberbagai macam bidang dan jenis pekerjaan untuk mendapatkan memperoleh tambahan pendapatan.

Jika akad-akad tersebut sangat berpihak kepada ekonomi rumah tangga maka pertanyaan selanjutnya ialah, apakah lembaga keuangan syariah dalam hal ini perbankan dan pegadaian syariah yang jelas-jelas menggunakan akad-akad tersebut dalam usahanya telah dan berani memberdayakan atau sekedar memperhatikan sektor ekonomi rumah tangga? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu untuk dipaparkan secara jelas disini bahwa dari produk-produk kedua lembaga keuangan syariah tersebut (Perbankan dan Pegadaian) sampai dengan Juli 2005, memiliki fokus yang berbeda yakni pada akad Murabahah, Mudharabah, Musyarkah, dan Ijarah pada Perbankan Syariah, dan akad Rahn serta Ijarah pada Pegadaian Syariah.

Dari akad yang digunakan dan mekanisme yang dijalankan oleh kedua lembaga keuangan tersebut, jika dilihat dalam presfektif ekonomi rumah tangga, perbankan dan pegadaian syariah dengan produknya masing-masing, memiliki posisi dan peran tersendiri dalam mekanisme ekonomi rumah tangga yang sangat erat hubungannya dengan situasi dan kondisi keuangan rumah tangga.

Dilihat dari produk-produk yang ditawarkan kedua bank syariah (Bank Syariah Mandiri/BSM dan Bank Danamon Syariah/BDS) tersebut,[10] terutama pada produk pembiayaan sebahagian besar dan bahkan hampir seluruhnya tidak dapat digunakan pada ekonomi rumah tangga terutama pada kebutuhan dasar dan kebutuhan alamiah seperti kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan serta pembiayaan kelahiran, khitanan, pendidikan, pernikahan maupun kematian. Meskipun, pada produk pembiayaan BSM terdapat dua produk pembiayaan yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dana mendesak yakni pembiayaan Gadai Emas dan Talangan Haji yang keduanya menggunakan akad Qardh, sedangkan selebihnya baik BSM maupun BDS sama-sama mengalokasikan dana pembiayaan untuk pengembangan usaha dalam bentuk akad Murabahah, Mudharabah, Musyarakah dan lain sebagainya, yang dapat diakses oleh unit usaha baik mikro maupun makro.

Berdasarkan besarnya pendapatan yang diperoleh BSM maka dapat dilihat bahwa akad Murabahah masih menjadi akad yang paling paforit yang digunakan dalam produk pembiayaan, sedangkan akad-akad yang lain meliputi Mudharabah, Musyarakah, belum menjadi akad yang dominan. Hal ini juga sama dengan apa yang terdapat pada produk pembiayaan BDS yang hampir seluruhnya menggunakan akad Murabahah dan Ba’i (jual beli), yang diperuntukkan bagi pembelian alat-alat usaha dari usaha yang telah ada, yang memang bukan kebutuhan dasar rumah tangga, dan sedikit pembiayaan yang dialokasikan untuk dana (modal) usaha yang benar-benar dibangun dari awal atau yang bekerja sama dengan mereka yang memiliki kemampuan (skill), tetapi memiliki keterbatasan modal, yang teraplikasi dalam akad Mudharabah dan Musyarakah.

Produk-produk pembiayaan dalam dua bank syariah tersebut merupakan produk yang hanya dapat digunakan dan diakses oleh mereka-mereka yang ekonomi rumah tangganya telah cukup mapan dalam mencukupi kebutuhan dasar rumah tangga, dan yang tidak lagi berfikir bagaimana cara mencukupinya, serta disaat kondisi ekonomi rumah tangga mengalami surplus, yang dapat diartikan disaat seluruh kebutuhan dasar dalam ekonomi rumah tangga telah dapat tercukupi dan pendapatan tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya (setelah kebutuhan dasar) atau digunakan untuk menabung dan bahkan berinvestasi.

Ketersediaan produk perbankan syariah yang dapat digunakan bagi keluarga yang telah dapat mencukupi kebutuhan dasar hidup dan dalam bentuk pembiayaan jual beli dan pengembangan usaha, memberikan jarak yang cukup jauh antara perbankan syariah dan kebutuhan mendesak dalam ekonomi rumah tangga yang pada dasarnya jarak tersebut, dapat didekatkan dengan pengembangan usaha perbankan syariah dengan berani mengelola dana publik dalam bentuk zakat dan wakaf secara produktif atau dengan memberdayakan akad Qardh, yang telah sebahagian diaplikasikan perbankan syariah dalam hal ini BSM dalam pembiayaan sektor rumah tangga yang selama ini belum dikembangkan dengan optimal.

Keberanian untuk mengelola dana publik secara produktif tersebut dapat dimungkinkan, dengan dan jika tujuan yang dimaksud dalam pengelolaan tersebut jelas bahwa hasil yang diperoleh digunakan untuk membantu keluarga miskin dan masyarakat yang sedang mengalami kesulitan, dan dengan itu, menunjukkan perbankan syariah telah juga ikut berperan dalam berusaha untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan di masyarkat.

Sedangkan produk pegadaian syariah pada Unit Layanan Gadai Syariah Perum Pegadaian yang menggunakan akad Rahn dan Ijarah, dalam presfektif ekonomi rumah tangga, memiliki posisi yang cukup penting terutama ketika ekonomi rumah tangga sedang mengalami defisit dan atau sedang menghadapi kebutuhan dana mendesak. Meskipun ULGS dalam hal ini, tidak menyebutkan secara jelas memiliki pembiayaaan untuk sektor rumah tangga tetapi dengan melihat proses pelayan pemberian dana yang relatiev cepat, dengan syarat yang tidak berbelit-belit serta pelayanan yang sopan dan mengedepankan aspek kekeluargan, akan mempermudah rumah tangga dalam mengakses layanan gadai syariah disaat mengalami defisit keuangan maupun dalam memenuhi kebutuhan dana mendesak yang dialami ekonomi rumah tangga.

Dari itu, dapat dikatakan bahwa pegadaian syariah sangat pas dengan kondisi ekonomi rumah tangga terutama bagi mereka yang memang telah berinvestasi dalam bentuk barang-barang berharga, yang tak jarang telah dimiliki oleh setiap keluarga. Tetapi yang perlu menjadi perhatian selanjutnya ialah bahwa tidak setiap barang berharga dapat digadaikan pada ULGS, sehingga sangat perlu kiranya jika rumah tangga sedikit demi sedikit berusaha untuk berorientasi menabung atau berinvestasi dalam bentuk barang-barang berharga yang memiliki tingkat likuiditas yang relatief setabil, meskipun barang berharga itu juga dapat dipergunakan sehari-hari. Barang-barang yang relatief lebih likuid tersebut dapat berupa perhiasan emas, tanah maupun kendaraan bermotor yang disamping sebagai harta yang bernilai tinggi, tetapi juga dapat digunakan oleh keluarga.

Kesadaran untuk menumbuhkan orientasi menabung dan berinvestasi dalam bentuk barang-barang berharga pada ekonomi rumah tangga, perlu ditumbuhkan pada masyarkat, karena tak jarang antara barang-barang berharga yang dimiliki pihak rumah tangga dan apa yang diterima pegadaian syariah tidak terjadi singkronisasi, terutama disebabkan batas minimal nilai dan tahun barang yang dapat digadaikan sebagaimana telah ditetapkan ULGS, tidak sesuai dengan nilai barang-barang yang banyak dimiliki rumah tangga pada umumnya, sedangkan disisi lain bagi rumah tangga yang memiliki keterbatasan ekonomi, untuk memiliki benda-benda berharga yang mempunyai nilai tinggi sebagaimana ditetapkan ULGS tersebut sangatlah dirasa sulit. Dari itu, penting kiranya bagi ULGS dan lembaga gadai pada umumnya untuk mensosialisasikan kepada masyarakat, akan jenis-jenis barang yang nilai dan tingkat likuid-nya cendrung stabil, dan tidak menetapkan tingkat minimal nilai barang gadai tanpa melihat kondisi ekonomi rumah tangga secara riil baik dari rumah tangga yang memiliki tingkat ekonomi relatif stabil, sampai rumah tangga yang memiliki tingkat kesetabilan ekonominya sangat rentan, hal ini sangat perlu dilakukan karena pada realitasnya rumah tanggalah yang banyak menggunakan jasa gadai ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abu bakar, M. Ayub,“Peran Ekonomi Subsistens Dalam Memenuhi Kebutuhan Pokok Rumah Tangga Kota? dalam Mulyanto Sumardi, Hans Dieter Evers (ed), Sumber Pendapatan, Kebutuhan Pokok dan Prilaku Menyimpang, Jakarta: Rajawali Press, 1982.

A. Gordon, Robert, “Rigor and Relevan in a Changing Institutional Setting? American Economic Review, vol. 66, No.1, Maret 1976.

A. Karim, Adiwarman, “Samakah Pembiayaan Ijarah Dengan Leasing? Majalah Moda, No.22/II Agustus 2004.

Amin, Riawan, “Jaringan Perbankan Syariah Lemah? Artikel Kolom Ekonomi Syariah, Republikaonline, diakses tanggal 18 Februari 2005.

Amin, Riawan, “Bank Indonesia Harus Adil Kepada Bank Syariah? dalam harian umum, Republika, Kamis 20 Januari 2005.

Antonio, Muhammad Syafii, Islamic Bank in Indonesia, Thesis of Doctor of Philosophy degree, Melbourne Institut of Asian Languages and Societies, The University of Melbourne, Australia, 2003.

Arief, Sritua, Ekonomi Kerakyatan Indonesia; Mengenang Bung Hatta, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002.

Ariff, Mohamed, “Islamic Bank? Asian-Pacific Economic Literature, Vol. 2, N. 2 (September 1988).

Badan Pusat Statistik (BPS), Angka Indeks Harga 9 Bahan Pokok di Daerah Pedesaan Jawa, Madura dan Luar Jawa, Buletin ringkas Juni 1999.

Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik Kesejahteraan Rakyat, Jakarta, 1999.

Badan Pusat Statistik (BPS), Beberapa Indikator Penting Mengenai Indonesia, Jakarta: Direktorat Diseminasi Statistik, www. bps.go.id, diakses pada tanggal, 28 April 2005.

Bukhari, Imam, Sahih Bukhari, Kutub al-Tisah (CD)

Chotib, N. Halim, ”Konsep pengembangan Ekonomi Umat? dalam Solusi Islam atas Problematika Umat, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.

C. Stone, Courtenay (Ed), Financial risk : theory, evidence and implications : proceedings of the Eleventh Annual Economic Policy Conference of the Federal Reserve Bank of St. Louis, Boston : Kluwer Academic Publishers, c1989.

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997.

Dick, Howard, “State, Nation-State and Nasional Economy? dalam The Emergence of a National Economy, Antony Milner (Ed), Australia: Allen & Unwin, 2002.

Djiwandono, J. Sudrajat, Bergulat Dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Dokumentasi RUU Perbankan 1991, Center For Strategic And International Studies, 1991.

Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hope, 1996.

Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000.

Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), No.25/DSN-MUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002.

Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 09/DSN-MUI/IV/2000.

Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 11/DSN-MUI/IV/2000.

Ghofur, Ruslan Abdul, Pegadaian Syariah di Indonesia (Aplikasi penerapan gadai syariah pada ULGS Cabang Pamekasan dan Kusumanegara Yogyakarta), Yogyakarta: Tesis Magister Studi Islam,Universitas Islam Indonesia, 2004.

Harian Umum Nasional, Repubilka, tanggal 6 November 2004.

Hawy, M. Nassir, ”Kredit dan Tabungan: Suatu Pandangan Strategi Sosial Ekonomi Masyarakat Kota? dalam, Mulyanto Sumardi (ed), Sumber Pendapatan, Kebutuhan Pokok dan Prilaku Menyimpang, Jakarta: Rajawali Press, 1982.

Hassan, M.Kabir, “Islamic Banking Teory and Practice: The Experience of Bangladesh? Managerial Finance; 25, 5; ABI/INFORM Global, 1999.

http://www.bi.go.id/web/id

http://www.modalonline.com/mod.php, “Manajemen Resiko di Bank Syariah? Modal Online, Topik/interaktif, Rabu, 26 Mei 2004

http://www..syariahmandiri.co.id

http://www.danamon.co.id

Hooker, M. B, Indonesian Islam, ASAA Southeast Asia Publication Series, Australia: Allen & Unwin, 2003.

Ibn Mandur, Imam al’ama, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999.

I Greenbaum, Stuart and V. Thakor, Anjan, Contemporary Financial Intermediation, Orlando: Dryden Press, 1995.

Ironmonger, Duncan, Households Work, Sydney: Allen and Unwin, 1989.

Iqbal, Munawar, T. Llewellyn, David, Islamic Bank and Finance, UK: Edward Elgar Publishing, 2002.

al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

J. Rachbini, Didi (ed), Khazanah Pemikiran Ekonomi Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1994.

J.S. Furnivall, Netherlands India (A Study of Plural Economy), London: Cambridge University Press, 1939.

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1150.

Krisnamurti, Bayu, “Krisi Ekonomi Indonesia Dan Ekonomi Rakyat? dalam Makalah Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Jakarta, 9 April 2002, diakses pada http://www. ekonomirakyat.org/edisi 5/artikel.

K. Yin, Roberts, Case Study Research; Design and Methods, Second Edition, London: Sage Publications, 1994.

Man, Zakaria “Islamic Bank: The Malaysian Experience? dalam Islamic Banking in Southeast Asia, Muhamed Ariff (ed), Singapore: ISEAS, 1988.

M. Hatta, Pengantar Kejalan Ekonomi Sosiologi, Jakarta: Gunung Agung, 2002.

Miller, Roger LeRoy, Van Hoose, David, Money, Banking, and Financial Markets, Cincinnati, Ohio : South-Western/Thomson Learning, 2004.

Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: LP3ES,1973.

Mudzar, Atho, Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Partadirja, Ace, “Ekonomika Etik? dalam, Khazanah Pemikiran Ekonomi Indonesia, Didik.J. Rachbini (ed), Jakarta: LP3ES, 1994.

P. Attanasio, Orazio and Banks, James, “The Assessment: Household Saving-Issues in Theory and Policy? Oxford Rewiew of Economic Policy, Vol. 17, No.1, 2001.

Prawiranegara, Sjafruddin, Peran Agama dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat dan Ekonomi Indonesia, Djakarta : Bulan Bintang, 1966.

Peraturan Pemerintah No 103 tahun 2000, Tentang Perusahaan Umum (perum) Pegadaian, Bab III, Anggaran Dasar Perusahaan, Pasal 3.

Rusd, Ibn, Sharh Bid¯ayat al-mujtahid wa-nih¯ayat al-muqtasid II/161, Cairo: D¯ar al-Sal¯am, 1995.

Rusd, Ibnu, Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa: Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini, 1991.

Sabiq, Sayyid, Fiqh us-Sunnah, Muhammad Sa‘eed Dabas, Jamal al-Din M. Zarabozo, translators, Indianapolis, Ind., USA: American Trust Publications, c1985.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Jus III, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Saeed, Abdullah, Islamic banking and interest : a study of the prohibition of riba and its contemporary interpretation, Leiden, The Netherlands; New York: E.J. Brill, 1996.

Sugiarto, Agus, ”Menengok Kembali Intermediasi Sektor Keuangan? Kolom artikel pada harian umum Kompas, tanggal, 24 Juli 2003.

Sulaiman, Robintan, Kejahatan Korporasi Perbankan : Tinjauan Yuridis, Jakarta: Universitas Pelita Harapan, 2000.

Strauss, John, Indonesian Living Standards, USA: RAND Corporation, 2004.

al-Syafii, Imam, al-U’m, Jilid III, tp: tt.

Syafii, Rahmad, dalam “Problematika Hukum Islam Kontemporer?/I>, Chuzaimah T Yanggo (ed), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Syakir Sula, Muhammad (Sekertaris Jendral Masyarakat Ekonomi Syariah) dalam harian umum Republika, Senin, 28 Februari 2005.

Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI).

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Y. Sri Susilo dkk, Bank dan lembaga keuangan lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000.

Al-Zuhaili, Wahbah, Fiqh Islam Wa Adillatuh, Beirut: Dar Fikr, tt.



[1] Tingkat pengangguran terbuka secara rinci mencapai 9,06% pada 2002, 9,50 % pada 2003 dan 9,86% pada 2004 dan 10,3% pada februari 2005, menurut Hamonangan Ritonga (Kasubdit Direktorat analisis BPS) peningkatan jumlah penduduk miskin diperkirakan akan bertambah sebesar 2% pada tahun 2005 menjadi 18,7 % dari tahun sebelumnya setelah pemerintah menaikkan harga BBM pada Mei 2005. Harian umum, Kompas, Minggu 13 Maret 2005. Lihat juga Badan Pusat Statistik (BPS), Beberapa Indikator Penting Mengenai Indonesia, Jakarta: Direktorat Diseminasi Statistik, Edisi Juni 2005, dan Berita Resmi Statistik N0.37/VIII/1 Juli 2005. Lihat juga www. bps.go.id.

[2] M. Hatta, Pengantar Kejalan Ekonomi Sosiologi, Jakarta: Gunung Agung, 2002, hal. 8.

[3] Duncan Ironmonger, Households Work, Sydney: Allen and Unwin, 1989, hal. 3/14.

[4] John Strauss, Indonesian Living Standards, USA: RAND Corporation, 2004, hal. 1-3, lihat juga, Badan Pusat Statistik (BPS), Angka Indeks Harga 9 Bahan Pokok di Daerah Pedesaan Jawa, Madura dan Luar Jawa, Buletin Ringkas, Juni 1999, hal. 28-29.

[5] Sebagaimana data statistik Kesejahteraan Rakyat menunjukkan bahwa presentasi tertinggi penduduk yang pernah berhenti/putus hubungan kerja sejak Juli 1997 sampai 1999 ialah berhenti/putus kerja karena PHK (20,25 %), Usaha terhenti (17,38%) dan Pendapatan yang dirasa kurang (17,28%). BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat, Jakarta, 1999, hal. 180-191. Lihat juga Bayu Krisnamurti, Krisi Ekonomi Indonesia Dan Ekonomi Rakyat, Makalah Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Jakarta, 9 April 2002, diakses pada http://www. ekonomi rakyar.org/edisi 5/artikel.

[6] Orazio P. Attanasio and James Banks, “The Assessment: Household Saving-Issues in Theory and Policy? Oxford Rewiew of Economic Policy, Vol. 17, No.1, 2001, hal. 3.

[7] Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: LP3ES, 1973, hal. 39.

[8] M. Ayub Abubakar, “Peran Ekonomi Subsistens Dalam Memenuhi Kebutuhan Pokok Rumah Tangga Kota? dalam Mulyanto Sumardi, Hans Dieter Evers, (ed), Sumber Pendapatan, Kebutuhan Pokok dan Prilaku Menyimpang, Jakarta: Rajawali Press, 1982, hal. 111.

[9] M. Nassir Hawy, Kredit dan Tabungan: Suatu Pandangan Strategi Sosial Ekonomi Masyarakat Kota, dalam, Mulyanto Sumardi (ed), 1982, hal. 70.

[10] Lihat, BAB III Lembaga Keungan Syariah pada Subbab Perbank Syariah dan Pegadaian Syariah.