oleh : Dianita Kristanti, Abdul Rosyid, Ali Sadikin
MSI-UII.Net - 5/9/2008
Ketiga Penulis adalah Mahasiswa Ekonomi Islam MSI UII
Pendahuluan
Berdirinya bank Islam/perbankan syari’ah diawali dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern: neorevivalis dan modernis. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan ini adalah sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Hingga awal ke-20, bank Islam hanya merupakan obsesi dan diskusi teoritis para akademisi baik dari bidang hukum (fikih) maupun bidang ekonomi. Kesadaran bahwa bank Islam adalah solusi masalah ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial telah muncul, namun upaya nyata yang memungkinkan implementasi praktis gagasan tersebut nyaris tenggelam dalam sistem ekonomi dunia yang menggunakan bunga riba.
Dalam tulisan ini akan dibahas secara garis besar mengenai perbankan Islam terutama di Indonesia, meliputi sejarah, serta konsep-konsep dasar operasional bank syari'ah.
Sejarah dan Perkembangan Bank Islam
Beroperasinya Mit Ghamr Local Saving Bank di Mesir pada tahun 1963 merupakan tonggak sejarah perkembangkan sistem perbankan Islam. Mit Ghamr menyediakan pelayanan dasar perbankan seperti simpanan, pinjaman, penyertaan modal, investasi langsung dan pelayanan sosial. Pada tahun 1967 pengoperasian Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir disebabkan adanya kekacauan politik. Walaupun Mit Ghamr sudah berhenti beroperasi sebelum mencapai kematangan dan menyentuh semua profesi bisnis, keberadaannya telah memberikan pertanda bagi masyarakat muslim bahwa prinsip-prinsip Islam sangat applicable dalam dunia bisnis modern.
Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Islamic Develoment Bank (IDB), yang berdiri atas prakarsa dari sidang menteri luar negeri Negara-negara OKI di Pakistan (1970), Libiya (1973), dan Jeddah (1975). Dalam sidang tersebut diusulkan penghapusan sistem keuangan berdasarkan bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil. Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negeri Islam untuk mendirikan untuk mendirikan lembaga keuangan syari’ah. Pada akhir priode 1970-an dan awal periode 1980-an bank-bank syari’ah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, dan Turki.
Dari berbagai laporan tentang bank Islam, ternyata bahwa operasi perbankan Islam dikendalikan oleh tiga prinsip dasar, yaitu (a) dihapuskannya bunga dalam segala bentuk transaksi, (b) dilakukannya segala bisnis yang sah, berdasarkan hukum serta perdagangan komersial dan perusahaan industri, dan (c) memberikan pelayanan sosial yang tercermin dalam penggunaan dana-dana zakat untuk kesejahteraan fakir miskin.[1]
Berkembangnya bank-bank syari’ah di Negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an telah banyak diskusi mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam, akan tetapi prakarsa untuk mendirikan bank Islam baru dimulai pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan lokakarya tentang bunga bank dan perbankan menghasilkan terbentuknya sebuah tim perbankan yang bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi. Pada tahun 1991 berdiri PT. BMI (Bank Muamalat Indonesia).
Pada awal pendirian BMI keberadaan bank syari’ah belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional, disebabkan landasan hukum operasional bank yang menggunakan sistem syari’ah ini hanya dikategorikan sebagai bank dengan sistem bagi hasil, dan tidak terdapat rincian landasan hukum syari’ah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.
Pada era reformasi perkembangan perbankan syari’ah ditandai dengan disetujuinya Undang-undang No.10 tahun 1998, yang mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplemen-tasikan oleh bank syari’ah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank konvensional untuk membuka cabang syari’ah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syari’ah.
Perbedaan Bank Syari’ah Dengan Bank Konvensional
Dalam beberapa hal, bank syari’ah dan bank konvensional memiliki persamaan terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pem-biayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan lain-lain. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya yaitu menyangkut aspek legal, stuktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.
1. Akad dan aspek legalitas
Dalam bank syari’ah, akad yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sehingga pelanggaran kesepakatan dapat diminimalisir. Selain itu akad dalam perbankan syari’ah baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun keten-tuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, baik rukun maupun syaratnya.
2. Lembaga penyelesaian sengketa
Dalam perbankan syari’ah, apabila terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabah, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di pengadilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai dengan tatacara dan hukum materi syari’ah. Hukum yang mengatur ini disebut BAMUI yang didirikan bersama antara MUI dan Kejaksaan Agung.
3. Stuktur organisasi
Dalam stuktur organisasi bank syari’ah memiliki kesamaan dengan bank konvensional, seperti komisaris maupun direksi. Tetapi unsur yang dapat membedakan antara bank syari’ah dan konvensional adalah adanya pengawas syari’ah (DPS) yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produk agar sesuai dengan garis-garis syari’ah dan DPS biasanya diletakkan pada posisi setingkat dewan komisaris pada setiap bank.
Banyaknya DPS pada bank perlu disyukuri, akan tetapi perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya fatwa yang berbeda di masing-masing DPS, maka MUI sebagai payung dari lembaga organisasi keislaman di Indonesia perlu membentuk dewan syari’ah secara nasional yang membawahi lembaga-lembaga keuangan termasuk di dalamnya bank-bank syari’ah. Lembaga ini biasa disebut Dewan Syari’ah Nasional (DSN), yang berfungsi mengawasi produk-produk keuangan syari’ah agar sesuai dengan syariat Islam (meneliti dan memberi fatwa bagi produk yang dikembangkan). DSN juga bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai DSN pada satu lembaga keuangan. Selain itu DSN juga dapat memberikan teguran dan mengusulkan kepada otoritas yang berwenang untuk memberikan sanksi kepada bank yang melakukan dan mengembangkan tidak sesuai syari’ah.
4. Bisnis dan usaha yang dibiayai
Dalam bank syari’ah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan harus sesuai dengan syari’ah. Karena itu, bank syari’ah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung dalam hal-hal yang diharamkan.
5. Lingkungan kerja dan corporate culture
Dalam bank syari’ah haruslah memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syar’ah. Dalam hal etika misalnya sifat amanah, shiddiq harus melandasi setiap karyawan, sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Begitu pula karyawan bank harus skillful dan profesional (fathanah) dan mampu melakukan tugas secara teamwork dimana informasi merata di semua fungsional organisasi (tabligh) begitu pula dalam hal reward dan punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syari’ah.
Konsep dan Operasional Bank syari'ah
1. Sumber Dana Bank Syari’ah
Bank sebagai suatu lembaga keuangan yang salah satu fungsinya adalah menghimpun dana masyarakat, harus memiliki suatu sumber penghimpunan dana sebelum disalurkan ke masyarakat kembali. Dalam bank syari’ah, sumber dana berasal dari modal inti (core capital) dan dana pihak ketiga[2], yang terdiri dari dana titipan (wadi’ah) dan kuasi ekuitas (mudarabah account).
Modal inti adalah modal yang berasal dari para pemilik bank, yang terdiri dari modal yang disetor oleh para pemegang saham, cadangan dan laba ditahan. Modal yang disetor hanya akan ada apabila pemilik menyertakan dananya pada bank melalui pembelian saham, dan untuk penambahan dana berikutnya dapat dilakukan oleh bank dengan mengeluarkan dan menjual tambahan saham baru. Cadangan adalah sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya risiko kerugian di kemudian hari. Sedangkan laba ditahan adalah sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang saham sendiri (melalui RUPS) diputuskan untuk ditanam kembali dalam bank.[3] Modal inti inilah yang berfungsi sebagai penyangga dan penyerap kegagalan atau kerugian bank dan melindungi kepen-tingan para pemegang rekening titipan (wadi’ah) atau pinjaman (qard).
Sebagaimana halnya dengan bank konvensional, bank syari'ah juga mempunyai peran sebagai lembaga perantara (intermediary) antara satuan-satuan kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana (surplus unit) dengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan dana (deficit unit). Melalui bank, kelebihan dana-dana tersebut akan disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan dan memberikan manfaat kepada kedua belah pihak. Dana pihak ketiga tersebut terdiri dari :
a. Titipan/wadi’ah, yaitu dana titipan masyarakat yang dikelola oleh bank.
b. Investasi/mudarabah, adalah dana masyarakat yang diinvestasikan.
2. Aqad-akad Bank Syari’ah
Bank syari’ah dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya kebersamaan dan menanggung risiko usaha dan berbagi hasil usaha antara pemilik dana (shahibul mal) yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga selaku pengelola dana (mudarib), dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha. Pengelolaan dana tersebut didasarkan pada aqad-aqad yang disesuaikan dengan kaidah muamalat. Dari segi ada atau tidaknya kompensasi, fiqh muamalat membagi aqad menjadi dua bagian, yaitu aqad tabarru' dan aqad tijaroh.[4]
Aqad tabarru', yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Aqad tabarru' dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekedar menutup biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan aqad tabarru' tersebut. Tetapi ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari aqad tabarru' itu. Contoh aqad tabarru' adalah:
- Qard, pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali.
- Wadi’ah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
- Wakalah, aqad pemberian kuasa (muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa.
- Kafalah, jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafl) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
- Rahn, menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara?sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil atau ia bisa mengambil sebagian manfaat barang itu.
- Dhaman, menggabungkan dua beban (tanggungan) untuk membayar hutang, menggadaikan barang atau menghadirkan orang pada tempat yang telah ditentukan.
- Hiwalah, aqad yang mengharuskan pemindahan hutang dari yang ber-tanggung jawab kepada penanggung jawab yang lain.
Berbeda dengan aqad tabarru', maka aqad tijaroh (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Aqad-aqad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh aqad tijaroh antara lain:
- Murabahah, adalah jual-beli barang dengan harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Penjual harus memberitahu harga produk yang dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
- Salam, pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sementara pem-bayaran dilakukan di muka.
- Istisna?/SPAN>, kontrak penjualan antara mustashni?/I> (pembeli akhir) dan shani?/I> (supplier). Pembelian dengan pesanan.
- Ijaroh, aqad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayar-an upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/ milkiyyah) atas barang itu sendiri.
- Musyarakah, aqad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
- Muzara’ah, adalah bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian setahun.
- Musaqah, adalah bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian tahunan.
- Mukhabarah, adalah muzara’ah tetapi bibitnya berasal dari pemilik tanah.
3. Prinsip-prinsip Operasional
Secara umum, setiap bank Islam dalam menjalankan usahanya minimal mempunyai lima prinsip operasional, yaitu[5]:
a. Prinsip simpanan giro, merupakan fasilitas yang diberikan oleh bank untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan danaya dalam bentuk al wadiah, yang diberikan untuk tujuan keamanan dan pemindahbukuan, bukan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan atau deposito.
b. Prinsip bagi hasil, meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara pemilik dana (shahibul mal) dan pengelola dana (mudarib). Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Prinsip ini dapat digunakan sebagai dasar untuk produksi pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan.
c. Prinsip jual-beli dan mark-up, merupakan pembiayaan bank yang diperhitungkan secara lump-sum dalam bentuk nominal di atas nilai kredit yang diterima nasabah penerima kredit dari bank. Biaya bank tersebut ditetapkan sesuai dengan kesepakatan antara bank dengan nasabah.
d. Prinsip sewa, terdiri dari dua macam, yaitu sewa murni (operating lease/ijaroh) dan sewa beli (financial lease/bai' al ta’jir).
e. Prinsip jasa (fee), meliputi seluruh kekayaan non-pembiayaan yang diberikan bank, seperti kliring, inkaso, transfer dan sebagainya.
4. Produk Bank Syari'ah
Pada sistem operasi bank syari'ah, pemilik dana menanamkan uangnya di bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan (misalnya modal usaha), dengan perjanjian pem-bagian keuntungan sesuai kesepakatan.[6]
Pembiayaan dalam perbankan syari'ah tidak bersifat menjual uang yang mengandalkan pendapatan bunga atas pokok pinjaman yang diinvestasikan, tapi dari pembagian laba yang diperoleh pengusaha. Pendekatan bank syari'ah mirip dengan investment banking, dimana secara garis besar produk mudarabah (trust financing) dan musyarakah (partnership financing), sedangkan yang bersifat investasi diimplementasikan dalam bentuk murabahah (jual-beli)[7].
Pola konsumsi dan pola simpanan yang diajarkan oleh Islam memungkin-kan umat Islam mempunyai kelebihan pendapatan yang harus diproduktifkan dalam bentuk investasi, maka bank Islam menawarkan tabungan investasi yang disebut simpanan mudarabah (simpanan bagi hasil atas usaha bank). Untuk dapat membagihasilkan usaha bank kepada penyimpan mudarabah, maka bank syari'ah menawarkan jasa-jasa perbankan kepada masyarakat dalam bentuk[8]:
1. Pembiayaan untuk berbagai kegiatan investasi atas dasar bagi hasil yang terdiri dari (a) pembiayaan investasi bagi hasil al mudarabah dan (b) pembiayaan investasi bagi hasil al musyarakah. Dari pembiayaan investasi tersebut bank akan memperoleh pendapatan berupa bagi hasil usaha.
2. Pembiayaan untuk berbagai kegiatan perdagangan yang terdiri dari (a) pembiayaan perdagangan al-mudarabah dan (b) pembiayaan perdagangan al-baiu bithaman ajil. Dari pembiayan perdagangan tersebut bank akan memperoleh pendapatan berupa mark-up atau margin keuntungan.
3. Pembiayan pengadaan barang untuk disewakan atau untuk disewabelikan dalam bentuk (a) sewa guna usaha atau disebut al-ijarah (b) sewa beli atau disebut baiu takjiri. Di Indonesia, al ijaroh dan al baiu takjiri tidak dapat dilakukan oleh bank. Namun demikian penyewaan fasilitas tempat penyim-panan harta dapat dikategorikan sebagai al-ijaroh. Dari kegiatan usaha al-ijaroh, bank akan memperoleh pendapatan berupa sewa.
4. Pemberian pinjaman tunai untuk kebajikan (al-qardhul hasan) tanpa dikenakan biaya apapun kecuali biaya administrasi berupa segala biaya yang diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang, seperti bea materai, bea akte notaris, bea studi kelayakan, dan sebagainya. Dari pemberian pinjaman al-qardhul hasan, bank akan menerima kembali biaya-biaya administrasi.
5. Fasilitas-fasilitas perbankan umumnya yang tidak bertentangan dengan syari'ah seperti penitipan dana dalam rekening lancar (current account), dalam bentuk giro wadi’ah yang diberi bonus dan jasa lainnya untuk mem-peroleh balas jasa (fee) seperti: pemberian jaminan (al-kafalah), pengalihan tagihan (al-hiwalah), pelayanan khusus (al-jualah), pembukaan L/C (al-wakalah), dan lain-lain. Dari pemakaian fasilitas-fasilitas tersebut bank akan memperoleh pendapatan berupa fee.
Dalam bentuk praktik di lapangan, di samping menyedikan modal yang dibutuhkan masyarakat kecil untuk membeli barang-barang modal (alat kerja), modal kerja operasional dan faktor lain yang dibutuhkan untuk membangun satu unit bisnis kecil. Bank syari'ah idealnya juga harus memberikan pendampingan manajerial, seperti aspek pemasaran keuangan dan produksi bahkan sampai mem-fasilitasi jaringan pemasaran (tata niaga) yang lebih efisien yang menguntungkan usaha kecil dan menengah. Dengan demikian, bank syari'ah menjadi partner usaha dalam lingkup yang lebih luas dan terintegrasi.
Konsep ideal perbankan yang sesuai dengan syari'ah Islam seperti yang diuraikan di atas pada praktiknya belum diselenggarakan secara ideal pula oleh bank-bank Islam di Indonesia. Menurut Zainul Arifin, beberapa praktik perbankan syari'ah yang masih jauh dari konsep ideal bank syari'ah adalah sebagai berikut[9]:
1. Terlalu memusatkan pada mekanisme murabahah dan mengabaikan mekanisme pembiayaan sah lainnya.
2. Menerapkan tingkat bunga untuk margin keuntungan tetap dalam mekanisme murabahah.
3. Mengabaikan aspek-aspek sosial dalam pembiayaan.
4. Kurang memberi respons tambah pada kebutuhan-kebutuhan pembiayaan pemerintah.
5. Kegagalan bank-bank Islam dalam menjalin kerjasama antara di mereka.
Kesimpulan
Sistem keuangan atau yang lebih khusus lagi adalah aturan yang menyangkut aspek keuangan dalam sistem perbankan di negara-negara sedang berkembang telah menjadi instrumen penting dalam melancarkan kegiatan pem-bangunan. Keberadaannya dalam berbagai aspek usaha masyarakat luas telah memberikan pertanda bahwa prinsip-prinsip Islam sangat applicable dalam dunia bisnis modern. Namun demikian, implementasi perbankan syari'ah terkadang masih mengalami kendala, baik dari lembaga itu sendiri, maupun dari pemerintah masyarakat. Untuk itu diperlukan kesungguhan dari berbagai pihak untuk memperbaiki kekurangan yang ada menuju sistem perbankan syari'ah yang rahmatan lil alamin.